Komunitas Peduli

Komunitas Peduli

Kamis, 09 Juli 2009

Tuhan Sembilan Centi

karya Taufik Ismail

Meskipun telah banyak dimuat di beberapa website dan blog, maka alangkah inginnya ketika petikan nasehat yang bagus ini turut tercantum pada di blog yang sederhana ini…

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok. Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemisngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.

Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.

Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas. Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba. Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Sumber: Fitrah Fitri

Minggu, 05 Juli 2009

Hati-Hati Dengan Pakaian Anda!

Pengantar

Segala puji bagi Alloh Subhaanahu wa Ta’ala. Kami memuja- Nya, memohon bantuan-Nya dan mengharapkan ampunan-Nya dari kejelekan diri dan keburukan tingkah laku kami.
Orang-orang yang dibimbing-Nya tidak kehilangan jejak dan orang yang disesatkan tidak akan mendapat petunjuk.
Sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada qudwah dan panutan kita Muhammad bin Abdillah, segenap keluarga, para shahabatnya dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh kepada jalan dan jejak beliau sampai akhir zaman.

Sesungguhnya Alloh Subhanallahu wa Ta’ala menciptakan makhluq-Nya dengan tujuan hanya untuk beribadah kepada-Nya, kemudian Alloh mengutus rosul-rosul-Nya agar menerangkan kepada mereka akan wahyu Alloh, maka Alloh pun mewajibkan kepada manusia untuk taat kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya :
Artinya:
“Dan tidaklah Aku utus seorang rosul kecuali agar ditaati dengan izin Alloh”.(QS. An-Nisa:64)
Sedang kewajiban seorang muslim adalah ittiba’(mengikuti) Nabi kita Shollallahu alaihi wa Sallam secara utuh tanpa tawar-menawar lagi. Oleh sebab itulah Alloh pun bersumpah dengan diri-Nya, bahwa orang yang mengaku beriman tetapi ia tidak patuh dan berserah diri dengan hukum Alloh, maka terhapuslah keimanannya, Alloh berfirman :
Artinya:
“…..maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya “.(QS.An-Nisa:65)

Begitu pula peringatan Alloh terhadap orang yang menyelisihi perintah Rosul-Nya.
Artinya:
“ …maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”.( QS. An nuur: 63)

Para Salaf -semoga Alloh meridhai mereka- betul-betul memahami nilai ketaatan, mereka pun tahu bahwa kunci kebahagiaan terletak pada sejauh mana mereka mengikuti perintah Rasululloh Shollallahu alaihi wa Sallam, serta menjauhi dari apa yang dilarang, maka mereka pun berittiba’ (mengikuti) sepenuhnya baik dalam permasalahan yang kecil (ringan) hingga yang besar. Khususnya beliau banyak mengingatkan agar kita tidak terjerumus dalam Tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir dan Ahli Kitab, khususnya dalam berpakaian. Rasululloh telah menetapkan bagi umat ini pakaian yang berbeda dari umat yang lain, dalam masalah ini ada banyak perkara yang harus dilakukan oleh seorang muslim (dalam hal berpakaian), demikian pula hendaknya menjauhi apa yang dilarang oleh Rasululloh Shollallahu alaihi wa Sallam, khususnya larangan melakukan Isbal (memanjangkan pakaian sampai mata kaki).

Karenanya, dalam rubik ini sengaja kami ulas permasalahan ini dengan harapan dapat menjadi hujjah dan dalil bagi mereka yang senantiasa masih rindu terhadap kebenaran dan sekaligus sebagai jawaban bagi mereka yang masih enggan untuk mengamalkannya bahkan memperolok-olok dan mengejek mereka yang berkemauan keras mengamalkan sunnah yang satu ini. Sebagaimana firman Alloh:
Artinya:
“ Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Adz dzariyat:55)

Definisi Isbal
Secara istilah yang dimaksud dengan Isbal pada pembahasan ini adalah menurunkan atau memanjangkan kain (pakaian) melebihi (di bawah) mata kaki.

Batasan Terendah Pada Kain
Berikut kami nukilkan beberapa hadits yang berbicara dan menjelaskan batasan terendah pada kain (pakaian).

Hadits Pertama
Artinya:
Dari Ibnu Umar, dia berkata , “Aku mengunjungi Rasululloh Shollallahu alaihi wa Sallam sedang aku memakai kain yang bergemerincing (karena masih baru), lalu beliau bertanya, ‘siapa itu?,’ ‘Aku …Abdulloh Ibnu Umar,’ Beliau berkata, ‘Kalau memang engkau Abdulloh maka angkatlah kainmu!,’ Kemudian aku angkat. Beliau berkata, ‘Angkat lagi!,’ Maka akupun mengangkatnya sampai setengah betis” (HR:Ahmad 2/141,147, Thobroni dalam Al Kabir 12/356, derajat hadits ini shohih)

Hadits Kedua
Artinya:
“Dari Ibnu Umar berkata : aku lewat di depan Nabi, sedang kainku melorot (karena longgar), beliau berkata : wahai Abdulloh angkatlah kainmu !, akupun mengangkatnya, angkat lagi ! (kata beliau ) akupun mengangkatnya lagi dan masih saja aku berusaha untuk tetap seperti itu sampai sebagian orang berkata: sampai seberapa ?, sampai setengah betis (jawabku)” (HR.Muslim (2086), Abu ‘Awanah 5/482, Al Baihaqi dalam As sunan 2/243)

Hadits Ketiga
Artinya:
Dari Al ‘ala’ bin Abdirrohman dari bapaknya berkata, “Aku bertanya kepada Abu Said Al khudzriy tentang kain (izaar),” Beliau berkata, ‘Kain penutup seorang muslim sampai setengah betis, dan tidak mengapa apabila diantara keduanya (pertengahan betis dan mata kaki), apa yang ada di bawah mata kaki maka (tempatnya) di neraka (beliau mengatakannya tiga kali), dan barang siapa yang memanjangkan kainnya dengan sombong, Alloh tidak akan melihat kepadanya’ ”. (Abu Daud (4093), Ibnu Majah (3574), Ahmad 3/5,6,31,44,52,97, Malik dalam Al muwatho’ hal. 914-915, Al humaidy (737), Ibnu Abi Syaibah 8/203, Abu ‘Awanah 5/483, Ibnu Hibban (1445- mawarid), Al baihaqi dalam As sunan 2/244, Al baghowi dalam syarhus sunnah 12/12 dan derajatnya shohih)

Hadits Keempat
Artinya:
Dari Hudzaifah berkata, “Rasululloh Shollallahu alaihi wa Sallam memegang otot betisku atau betisnya (begini kata Abu Ishaq, seraya mencontohkan), lalu beliau berkata: ini tempat (batas) kain, apabila engkau keberatan, maka seperti ini (beliau menurunkan satu genggam), apabila masih keberatan, maka seperti ini (menurunkan lagi satu genggam), apabila engkau menolak maka tidak ada lagi hak bagi kain di bawah mata kaki”. (HR.Tirmidzi (1783), An nasa’I 8/206, Ibnu majah (3572), Ahmad 5/382,396,398, 400, Ath thoyalisy (425), Al humaidy (445), Ibnu AQbi Syaibah 8/202, Ibnu Hibban (1447 – mawarid) Al baghowi 12/10, berkata Al hafidh Ibnu hajar dalam Al fath 10/256 : dishohihkan oleh Al hakim dan derajatnya hasan)

Hadits Kelima:
Artinya:
“Dari Anas, dari Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wa Sallam berkata : (batas tempat) kain itu sampai setengah betis, setelah beliau melihat hal ini dirasa berat oleh kaum muslimin, beliau bersabda : sampai kedua mata kaki, lebih dari itu tidak ada kebaikan padanya”. (HR.Ahmad 3/140,249,256, dan derajatnya shohih, dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/205 secara mauquf)

Hadits Keenam:
Artinya:
“Dari Abi Huroiroh berkata : Rosululloh Shollallahu alaihi wa Sallam bersabda : kain seorang mu’min ialah sampai otot betisnya, (apabila keberatan) maka sampai pertengahan betis (apabila masih keberatan), maka sampai mata kaki, apa yang di bawah mata kaki, maka (tempatnya) di neraka”. (Ahmad 2/255,287,504, Abu Awanah 5/484 dan derajatnya shohih)
Hadits-hadits ini semua jelas dan tegas menerangkan kepada kita tentang aturan berbusana bagi seorang muslim, dimana tidak diperbolehkan memanjangkan kain melebihi mata kaki, dan sunnah hukumnya (memotong kain tersebut) sampai setengah betis.

Dan dari hadits-hadits tersebut di atas bisa disimpulkan bahwa yang demikian ada tiga ukuran yang disukai :
1. Menurunkan kain sampai pertengahan betis.
2. Menurunkan kain sampai di atas pertengahan betis.
3. Menurunkan pakaian sampai di bawah pertengahan betis.

(Menurut para Ulama’ –Rahimahulloh yang sunnah adalah sampai pertengahan betis, namun jika dikhawatirkan menimbulkan kesalahpahaman dan fitnah di tengah masyarakat yang belum memahaminya (karena kurang sosialisasinya atau masyarakat yang kurang peduli agama) maka boleh menurunkannya sampai di atas mata kaki dan tidak menutupi atau melebihi mata kaki. Insya Allah hal ini tidak akan terlalu menyolok dan tidak tampak cingkrang yang menjadikan perhatian masyarakat. [Abdullah Hadrami])

Peringatan dan Ancaman
Apabila kita telah tahu aturan yang sebenarnya - tentang tidak diperbolehkannya memanjangkan kain di bawah mata kaki - kapan saja orang itu menolak hadits-hadits yang telah tetap dari Rosululloh dan menjadikannya terbuang (diremehkan), maka sungguh akibatnya tidak baik, sebagaimana banyak hadits telah menjelaskan tentang hal ini, diantaranya :

Hadits Pertama:
Artinya:
“Dari Abu Huroiroh berkata : Rosululloh Shollallahu alaihi wa Sallam bersabda : apa yang di bawah mata kaki dari kain penutup (izaar), maka (tempatnya) di neraka”. (HR.Bukahori 10/256, Ahmad 2/410,461,498, Abdur rozzaq 11/38, Abu Na’im fi Al hulyah 7/192, Al baihaqi 2/244, Al baghowi 12/12, Aahmad 5/9,IbnuAbi Syaibah 8/204, 203 dari hadits Aisyah, Ath thobroni dalam Al kabir dari hadits Samuroh bin Jundub dengan lafadz “ Ma tahta al ka’baini “ juga disebutkan oleh Imam Ahmad 5/15)
Berkata Al khottobi :” perkataan beliau “maka (tempatnya) di neraka”, bisa berarti dua makna : yang pertama : bagian kaki yang di bawah mata kaki berada di neraka, sebagai hukuman atas perbuatannya, yang kedua : sesungguhnya perbuatannya itulah yang menyebabkan ia masuk neraka, atau bisa dikatakan : perbuatan seperti ini termasuk perbuatan penduduk neraka “.

Hadits Kedua :
Artinya:
“Dari Asy syarid berkata : Nabi Shollallohu alaihi wa Sallam mengikuti seorang laki-laki dari Tsaqif sampai beliau mempercepat dalam mengikutinya, lalu Nabi memegang kain orang tersebut dan berkata : angkatlah kainmu !, seketika tampaklah kedua lututnya, lalu ia berkata : Ya Rosululloh, sungguh aku ini seorang yang cacat (bengkok pada telapak kaki) sehingga kedua lututku bersenggolan (ketika berjalan), Rosululloh bersabda : “setiap apa yang Alloh ciptakan adalah baik”. Diceritakan : “tidak terlihat dari orang tersebut kecuali kainnya berada di tengah betis sampai ia meninggal dunia” “.(HR.Ahmad 4/390, Al humaidi (810), Ath thohawi dalam masykalil atsar 2/287, Ath thobroni dalam Al kabir 7/377,378, dan derajatnya shohih)
Sungguh seseorang yang cacat kaki lalu memakai kain panjang agar tertutup kecacatannya, karena ia mengira bahwa membukanya berarti aib, tapi Rosululloh justru menyuruhnya : “angkatlah kainmu !”, kemudian orang tersebut berdalih bahwa yang membuatnya berbuat seperti itu adalah cacat pada kakinya, Rosululloh pun menjawabnya dengan sabdanya : “setiap apa yang Alloh ciptakan adalah baik”, beliau pun memberitahukan bahwa dalih seperti itu belum cukup membuat seseorang menutupi mata kakinya, lalu bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai dalih !.

Hadits Ketiga :
Artinya:
“Dari ‘Amr bin Fulan Al anshori berkata : ketika ia berjalan dan kainnya melebihi mata kaki, bertemulah ia dengan Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam, lalu beliau menaruh tangannya pada keningnya dan berkata : “Ya Alloh ini hamba-Mu dan anak hamba-Mu dan anak orang yang beriman pada-Mu”, ‘Amr berkata : Ya Rosululloh sungguh aku ini adalah seorang yang cacat kaki (betis yang tidak normal/kecil), beliau bersabda : “wahai ‘Amr sesungguhnya Alloh telah menjadikan baik apa yang diciptakan-Nya”, lalu Rosululloh mencontohkan dengan menaruh empat jari tangan kanannya pada lutut ‘Amr, dan beliau berkata : “wahai ‘Amr inilah tempat (batas) kain”, kemudian beliau menaruh di bawahnya (dengan ukuran yang sama),
dan berkata lagi : “wahai ‘Amr inilah tempat (batas) kain” “.(HR.Ahmad 4/200, berkata Al hafidz Ibnu Hajar dalam Al ishobah 7/155 : sanadnya hasan, diriwayatkan pula oleh Ath thobroni dalam Al kabir 8/277 dari hadits Umamah, Al haitsmi dalam majma’ 5/124, dan diriwayatkan oleh Ath thobroni dengan banyak sanad dan rijal yang salah satunya terpercaya)

Hadits-hadits yang telah tersebut diatas, menerangkan tentang sebab seseorang mandapatkan ancaman yang sangat keras (seperti ancaman akan neraka atau yang selainnya), dan sebabnya ialah memanjangkan kain melebihi mata kaki, setelah melihat dalil-dalil yang cukup jelas seperti ini, tidak akan bisa seseorang mengatakan bahwa ancaman dalam hadits tersebut ditujukan khusus kepada orang yang sombong ketika ia memanjangkan kainnya, karena hadits-hadits diatas cukup jelas menerangkan tentang hukuman yang wajib diketahui dan tegak diatasnya. Maka kapan saja seseorang melanggar aturan tersebut dan memanjangkan kain (di bawah mata kaki), maka ia masuk dalam kategori ancaman yang telah disebutkan dalam hadits di atas.

Hadits di atas sebagaimana pula hadits-hadits sebelumnya tidak mungkin dikaitkan dengan kesombongan , itu disebabkan karena setiap orang ingin menutupi kekurangannya secara fisik (menurut prasangkanya), artinya ketika seseorang memanjangkan kain mungkin ia tidak berniat sama sekali untuk bersombong diri, dalam keadaan seperti ini saja Rosululloh tidak mengizinkan (untuk memanjangkan kain) apalagi disertai niatan sombong.

Hukum Isbal
Ada banyak hadits yang melarang dan mencela tentang isbal (memanjangkan kain melebihi mata kaki), diantaranya :

Hadits Pertama:
Artinya:
“Dari Abu Dzar berkata : Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : ada tiga golongan, yang Alloh tidak akan mengajak bicara mereka pada hari kiamat kelak, enggan melihat mereka, enggan mensucikan mereka dan mereka akan mendapat adzab yang sangat pedih (Rosululloh mengulanginya sampai tiga kali), Abu Dzar berkata : sungguh mereka sangatlah merugi dan tidak beruntung, siapa mereka wahai Rosululloh ?, Rosululloh bersabda : mereka adalah “al musbil” orang yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki, pengungkit akan pemberian atau kebaikan, penjual barang yang disertai sumpah palsu “.(HR. Muslim (106), Abu Daud (4087), At tirmidzi 3/516, An nas’ai 5/81,7/245, 8/208, Ibnu Majah (2208), Ahmad 5/148,158,162, 168, 178, Ath thoyalisi (468), Ibnu Abi Syaibah 8/201, Ad darimi(2608) dan Tirmidzi mengatakan : hadits hasan shohih)

Hadits Kedua:
Artinya:
“Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : sesungguhnya Alloh Azza wa jalla tidak akan melihat kepada orang yang memnjangkan kainnya (melebihi mata kaki)”(HR. An nas’ai 8/207, Ahmad 1/322, Ibnu Abi Syaibah 8/200, Ibnu Al ja’di (2340) Ath thobroni dalam Al kabir 12/41, Abu Na’im dalam Al hulyah 7/192 dan derajatnya shohih)

Hadits Ketiga:
Artinya:
“Dari Ibnu Mas’ud berkata : Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda: barang siapa yang memanjangkan kainnya (melebihi mata kaki) di dalam sholat dengan sombong, maka Alloh tidak menghalalkan baginya (syurga) dan tidak pula mengharamkan baginya (neraka) “. (Abu Daud (637), Hunad dalam Az zuhdi (846), Ath thobroni dalam Al kabir 9/315 dan derajatnya shohih)

Setelah melihat dalil di atas, seharusnya kita meneliti serta mengoreksi maknanya dengan niat mendekatkan diri kepada Alloh dan ikhlas dalam menerapkan syariat Alloh dan mempraktekkan perintah NabiNya Shollallohu alaihi wa Sallam, kenapa kita menoleh ke kiri dan ke kanan, mena’wilkan begini dan membolak balikkan maknanya hanya untuk mencari dalih pembenaran (justifikasi), padahal sebenarnya dalih yang sangat hina itu tidak mempan menolak dalil yang telah tetap (dari Rosululloh), semua itu dalam rangka mengikuti dan mentaati hawa nafsu yang banyak menyuruh kepada kejelekan, dan agar senantiasa mendapat dalih dalam memanjangkan kain, dan apabila kita ingatkan dengan hadits-hadits Nabi, ia akan menjawab : “ancaman pada hadits-hadits itu hanya untuk orang yang memanjangkannya dengan kesombongan, dan aku tidak ada niatan sombong, untuk itu boleh saja aku memanjangkannya sekehendakku” , begitulah kebanyakan jawaban manusia, apakah dengan jawaban yang lemah tersebut dapat menghalangi dalil yang telah tetap lagi kuat ?.

Walaupun sepertinya dari dhohir hadits menunjukkan akan pensyaratan sombong (ketika memakainya), tetapi Ibnu Umar rodhiallohu anhu tidak memandang seperti itu, yang beliau fahami ialah siapa saja yang memanjangkan kainnya melebihi batasan yang telah ditentukan oleh Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam, maka ia termasuk dalam kategori ancaman (sebagaimana tersebut dalam hadits), untuk itu ketika beliau melihat anaknya memanjangkan kain (melebihi mata kaki), beliau tahu bahwa anaknya bukanlah termasuk orang-orang sombong, beliaupun tidak bertanya kepada anaknya tentang niat, apakah diniatkan sombong atau yang lainnya, akan tetapi hanya sekedar beliau melihat anaknya telah memakai kain melebihi batas yang telah ditentukan, beliaupun menegurnya.

Hadits Keempat :
Artinya:
“Dari Umar bin Maimun dalam menyebutkan kisah terbunuhnya Umar bin Khottob Rodhiallohu anhu : “ ….. ketika anak itu berbalik (pulang dari mengunjungi Umar) kainnya menyentuh tanah, maka Umar berkata : panggil kembali anak itu !, Umar berkata : wahai anak saudaraku angkatlah kainmu (pakaianmu) karena yang demikian lebih mensucikan pakaianmu dan lebih menjadikanmu bertaqwa kepada RobbMu” “.(HR.Bukhori 7/60, Ibnu Abi Syaibah 8/201,2202, riwayat ini mempunyai syahid (penguat) dengan derajat marfu’ dari hadits “Ubaid bin Kholid diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Asy syamail (97 – Mukhtashor Al albani), An nasa’I dalam As sunan Al kubro sebagaimana disebutkan dalam Tuhfatil Asyroof 7/223, Ahmad 5/364, Ath thoyalisi (1190), Al baghowi dalam Syarhus sunnah 12/11, berkata Al hafidz dalam Al fathi 10/263 : dan derajat riwayat sebelumnya jayyid, namanya adalah Rohmun, dishohihkan oleh Al albani dalam mukhtashor Asy syamai)
Seorang Umar bin Khottob walaupun beliau dalam keadaan sakit menjelang kematian, tetapi ketika melihat anak kecil yang kainnya terjulur panjang, beliau tidak tinggal diam bahkan beliau menyuruh agar memanggilnya kembali sehingga dapat menyuruhnya untuk memotong kain yang dikenakan.

Dan Abdulloh Ibnu Mas’udn meriwayatkan hadits yang menyebutkan “kesombongan”, tetapi beliau justru memahami hadits tersebut sesuai dengan dhohir kalimat, sebagaimana pula difahami oleh seluruh sahabat Rodhiallohu anhum.

Hadits Kelima :
Artinya:
“Dari Ibnu Mas’ud Rodhiallohu anhu beliau melihat seorang arab gunung sholat dan kainnya melebihi mata kaki, beliau berkata : seorang yang memanjangkan kainnya dalam sholat, maka Allah tidak menghalalkan baginya (syurga) dan tidak pula mengharamkan baginya (neraka)”. (HR.Abu Daud Ath thoyalisi (351), Ath thobroni dalam Al kabir 9/315,10/284, Al baihaqi dalam Sunan-nya 2/242, berkata Al hafidz dalam al fath 10/257 : sanadnya hasan dan hal seperti ini tidak bisa ditafsiri dengan akal, untuk itu tidak mengapa untuk memahaminya sesuai dengan dhohir hadits, derajat hadits shohih dengan syarat Imam yang enam)

Kenapa Ibnu Mas’ud mengucapkan hadits ini kepada seorang arab gunung padahal ia sedang berhadapan dengan Alloh (sholat), kalau seandainya perkaranya memungkinkan dua makna yaitu antara meniatkan kesombongan dan tidak meniatkannya, kenapa Ibnu Mas’ud sampai mengatakan kepadanya tentang hal ini, bisa jadi ia memanjangkannya dengan tanpa niat sombong, jika memang perkaranya bisa diartikan seperti ini .

Akan tetapi Ibnu Mas’ud mengetahui sepenuhnya bahwa isbal itu termasuk perbuatan sombong dan orang yang berbuat isbal tidak dilihat oleh Alloh pada hari kiamat kelak, seperti telah disebutkan.

Berkata Ibnu al-‘Arobi :“tidak sepantasnya orang yang memanjangkan kainnya berkata : “aku tidak memanjangkannya karena sombong”, karena lafadz hadits telah mencakup larangan, dan tidak sepantasnya pula bagi orang yang demikian untuk menyelisihi lafadz tersebut (yang berisi larangan), karena hukumnya sama seperti orang yang mengatakan : “aku tidak akan melaksanakannya karena illah (sebab sombong) tidak ada padaku”, sesungguhnya pengakuan seperti ini tidak dapat diterima, karena justru dengan memanjangkannya berarti kesombongan”. (Aunul ma’bud 11/142)
Begitu pula Al hafidz Ibnu Hajar mementahkan sangkaan orang yang mengatakan bahwa pengharaman isbal itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sombong, beliau mambantah : “kalau memang keadaanya seperti itu, tidak ada artinya Ummu Salamah bertanya kepada Rosululloh tentang hukum wanita yang memanjangkan kainnya, bahkan beliau Rodhiallohu anha memahami bahwa isbal itu dilarang secara mutlak (bagi laki-laki dan wanita) baik dengan sombong atau tidak, maka beliau bertanya tentang hukum wanita dalam masalah ini, karena wanita justru membutuhkan akan panjangnya kain guna menutupi aurat”. (Fathul bari 10/259)

Bersamaan dengan ini Nabi Shollallohu alaihi wa Sallam mengikrarkan bahwa pengharaman isbal umum bagi laki-laki dan wanita, walaupun tidak meniatkan sombong, hal yang demikian disebabkan karena mencari tahu nya Ummu Salamah setelah ia mendengar hadits yang di bawa oleh Ibnu Umar secara marfu’ “barang siapa yang memanjangkan kainnya dengan sombong Alloh tidak akan melihatnya kelak pada hari kiamat”.

Begitupun Ummu Salamah memahami bahwa kain yang melebihi mata kaki ialah maksud dari pada larangan itu sendiri, untuk itu beliau mencari tahu dan mengikrarkan pemahamannya terhadap hadits di atas, dan dijawab oleh Nabi bahwa wanita mempunyai hak untuk memanjangkan kainnya sebatas satu hasta dan tidak lebih dari itu, sebagaimana tersebut dalam hadits yang akan datang insya Alloh .

Jika kita perhatikan dari pemahaman sahabat dan orang-orang yang mengikutinya tentang tata cara berpakaian sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rosululloh , berikut menjadikan tempat (batasan) tertentu pada badan, yang tidak berhak bagi seorangpun untuk menyimpang darinya, seperti apa yang telah beliau katakan : “ tidak ada kebaikan apa yang melebihi darinya (mata kaki)”, dan perkataan beliau “kain yang di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka”, atau lafadz-lafadz lain yang mengancam akan isbal, maka seharusnya orang yang berpegang teguh dan arif dengan agamanya akan selalu ingin menjauhkan dirinya dari kemarahan dan adzab Allah, serta senang mendapat ridho Allah, masuk syurga dan melihat wajah-Nya, karena itu sudah sewajarnya bagi kita untuk selalu berusaha dengan sungguh-gungguh dalam menjalani petunjuk dan berjalan diatas apa yang telah ditentukan oleh Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam .

Kebanyakan dalam hadits-hadits yang telah disebutkan berbicara seputar permasalahan isbal dan yang melebihi dari mata kaki, ada banyak dalil yang mengecam dan mengancam orang yang memanjangkan kainnya dengan sombong, takabbur dan merasa lebih tinggi dari yang lain, yang mengharuskan kita untuk berhati-hati dari isbal, berikut uraiannya :

Hadits Pertama :
Artinya:
“Dari Abdullah bin Umar Rodhiallohu anhuma berkata : berkata Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam : “ barang siapa yang memanjangkan kainnya dengan sombong , Alloh tidak akan melihatnya pada hari kiamat kelak”, Abu Bakar berkata : “ wahai Rosululloh sesungguhnya sebelah kainku melorot (karena kendor), tetapi aku selalu berusaha menjaga kain itu dari isbal , Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : “sungguh engkau bukan termasuk orang yang berbuat sombong” “.(HR. Bukhori 7/19, 10/254, 378, Abu Daud (4085), Nasa’I 8/208, Ahmad 2/147, Al humaidy (649),Ath thobroni dalam Al kabir 12/299, 301, Al baihaqi 2/243, Al baghowi 12/9)

Hadits Kedua :
Artinya:
“Dari Ibnu Umar bahwasannya Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : ketika seorang laki-laki memanjangkan kainnya dengan sombong, ia ditenggelamkan dengannya lalu berteriak di dalam bumi sampai hari kiamat”. (HR.Bukhori 6/515,10/258, Nasa’I 8/206, Ahmad 2/66, Hunad dalam Az zuhdi (842) dan Abu ‘Awanah 5/475-478)

Hadits Ketiga :
Artinya:
“Dari Abu Huroiroh bahwasannya Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : ketika seorang laki-laki berjalan sombong dengan mengenakan pakaian yang membuatnya ta’ajub (besar diri), Alloh pun menenggelamkannya ke dalam bumi dan ia berteriak sampai hari kiamat”.(HR. Muslim (2088), Bukhori dalam Tarikh Al kabir 1/413, 2/212, Ahmad 2/390,531, Thoyalisi (2469), Abdur rozaq 11/82, Ali ibnu Al ja’di (1168), Abu Nai’maka dalam Al hilyah 8/389)

Hadits Keempat :
Artinya:
“Dari Ibnu Umar dari Nabi Shollallohu alaihi wa Sallam Bersabda : “isbal itu pada tiga tempat : kain, qomis dan sorban, barang siapa yang memanjangkan darinya sedikit saja dengan rasa sombong, Alloh tidak akan melihatnya kelak pada hari kiamat”.(HR. Abu daud (4094), Nasa’I 8/208, Ibnu Majah (3576), Ibnu Abi Syaibah 8/208, Hunad dalam Az zuhdi (847), derajatnya hasan karena seseorang bernama Ibnu Abi rowwad yang dianggap terpercaya oleh Yahya Al qotthon, Ibnu Ma’in dan ibnul Mubarok)

Hadits Kelima :
Artinya:
“Dari Abu Huroiroh berkata : Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : “ketika seorang laki-laki sombong lagi besar diri dengan jambul pada pakaiannya, dan ia memanjangkan kainnya, Alloh pun menenggelamkannya dengan (perbuatan itu) dan ia berteriak (atau dikatakan ia menukik jatuh) ke dalamnya sampai hari kiamat”. (HR.Bukhori 10/258, Muslim (49), (2088), Ahmad 2/267, 315, 456, 467, Abu ‘Awanah 5/471-472)

Hadits Keenam :
Artinya:
“Dari Ibnu Umar bahwasannya Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : “ Alloh tidak akan melihat orang yang memanjangkan kainnya dengan sombong”.( Malik dalam Al muwattho’ 2/914, Bukhori 10/252, Muslim (2085), Tirmidzi 4/223, Ahmad 2/10, Ibnu Abi Syaibah 8/199, Hunad dalam Az zuhdi (844), Bukhori dalam Tarikh Al kabir 7/277, Ath thobroni dalam Al kabir 12/407, Ibnu ‘Adi dalam Al kamil hal. 2254)

Hadits Ketujuh :
Artinya:
“Dari Hubaib bin Mughoffal Al ghifari bahwasannya ia melihat Muhammad Al qurosy berdiri dengan memanjangklan kainnya, maka Hubaib pun melihat kepadanya dan berkata : aku telah mendengar Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam bersabda : “barang siapa yang menurunkan (kainnya) dengan sombong, maka Alloh akan merendahkannya di neraka”. (HR. Ahmad 3/437,438, 4/237, dan anaknya Abdulloh dalam Zawaid Al snad 3/437, 4/237, Bukhori dalam Tarikh Al kabir 8/257, Abu Ya’la 3/111, Ath thobroni dalam Al kabir 22/206 dan dishohihkan oleh Al hafidz dalam Al ishobah 9/125, 10/237 dan derajatnya shohih)

Hadits-hadits yang telah disebutkan sebagiannya menyebutkan tentang isbal, akan tetapi maksud yang terkandung di dalamnya lebih besar lagi, yaitu takabbur dan merasa besar diri, hadits di atas tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits isbal pada umumnya, sebagaimana yang telah lalu bahwa orang yang memanjangkan kainnya akan mendapatkan hukuman yang berat begitu pula ancaman bagi siapa saja yang memanjangkannya lebih dari mata kaki, tetapi hukuman yang terdapat pada pelanggaran isbal kali ini lebih berat dan lebih besar, untuk itu hendaknya kita pandai-pandai membedakan antara hukuman bagi pelaku isbal saja, dengan orang yang isbal disertai sombong dan takabbur, setiap dari keduanya diadzab sesuai dengan berat hukuman masing-masing, karena adzab pada orang yang Nabi katakan dalam haditsnya “apa yang melebihi mata kaki, maka tempatnya di neraka”, tidak sama timbangan adzabnya pada orang yang Nabi sebutkan dalam haditsnya “barang siapa menurunkan kainnya dengan sombong , maka Alloh akan merendahkannya di neraka”. Setiap dari kita mengetahui bahwa penduduk neraka itu berbeda-beda dalam merasakan atau mendapatkan adzab, walaupun mereka sama-sama berada di dalamnya, di antara mereka ada yang mendapatkan adzab berlipat-lipat dibandingkan dari yang lain, di antara mereka pula ada yang mendapatkan se-ringan-ringannya adzab walaupun ia mengira bahwa dirinya adalah orang yang paling besar adzabnya.

Kalau kita mau menilik kembali kepada sekumpulan hadits-hadits terakhir di atas (yang menunjukkan akan takabbur), niscaya akan kita dapatkan bahwa sebagian besar hadits tersebut menunjukkan akan tidak melihatnya Alloh kepada para pelaku isbal, maka hukuman adzab di neraka lebih dahsyat dibanding dari yang selainnya, yaitu adzab yang ia rasakan dari waktu kematian sampai hari kiamat, dengan dalih sabda Nabi : “ia berteriak di dalam bumi sampai hari kiamat”. maka jelaslah bahwa setiap ma’siat mempunyai timbangan adzab masing-masing, untuk itu tidaklah pantas seorang mengatakan : aku memanjangkan kain bukan karena sombong, maka kita katakan : kalau ia memakainya tanpa kesombongan maka ia mendapatkan adzab yang telah ditentukan, kalau diniati sombong, maka adzabnya lebih besar lagi.

Beberapa Syubhat dan Jawabannya

Setelah mengetahui dalil-dalil yang cukup jelas tentang isbal, kita akan mengupas syubhat (pengkaburan dari hal yang sebenarnya) pada sebagian orang yang berpendapat bahwa isbal itu hanya disyariatkan bagi orang-orang yang sombong, mereka berdalih dengan alasan yang sangat lemah yang tidak mampu manghadang dalil yang telah tetap tentang pengharaman isbal, di antara dalih yang sering mereka gemborkan ialah hadits Ibnu Umar ketika Abu Bakar berkata : wahai Rosululloh, sungguh kainku yang sebelah melorot (karena kendor) dan aku selalu berusaha menjaganya dari isbal, Rosululloh menjawab : “engkau bukanlah orang yang berbuat sombong”, dalam riwayat yang lain, Abu Bakar berkata : sungguh kainku terkadang melorot, Nabi menjawab : “engkau bukanlah dari mereka”
Dalam riwayat lain juga beliau berkata : sungguh sebelah kainku melorot dan aku selalu berusaha menjaganya dari isbal, Nabi bersabda : “engkau bukanlah orang yang berbuat demikian”

Syubhat Pertama :

Mereka mengatakan : sesungguhnya sabda Rosul kepada Abu Bakar “sesungguhnya engkau bukanlah yang berbuat demikian”, menunjukkan bahwa larangan di sini hanya apabila diniatkan sombong, dan apabila tidak diniatkan sombong, maka tidak termasuk dalam ancaman hadits tersebut.

Jawaban :
1. Sebagaimana sabda Nabi kepada Hudzaifah ketika beliau memegang tulang betisnya beliau berkata : “ini tempat (batas) kain, apabila engkau keberatan maka turunkan (sampai sebatas mata kaki), apabila masih keberatan maka tidak ada hak bagi kain di bawah mata kaki”
Kalau kembali membaca hadits ini, apa kira-kira yang engkau pahami ?, apakah engkau memahami apabila tidak diniati sombong boleh bagi seseorang untuk memanjangkan kain sekehendaknya ?, ataukah engkau memahami bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam menyuruh untuk menjadikan tempat (batas) kain seperti yang telah beliau tentukan pada awalnya (setengah betis) dan kemudian boleh menurunkan sampai sebatas mata kaki, lalu beliaupun mengancam kepada orang yang memanjangkan lebih dari mata kaki dengan sabdanya : “tidak ada hak bagi kain untuk melebihi mata kaki”.

Dan ini sungguh sangat jelas, karena dengan ini orang tidak memungkinkan untuk mengadakan syubhat akan bolehnya melakukan isbal dengan alasan apabila tidak sombong, diperjelas dengan sabda Nabi kepada Ibnu Umar Rodhiallohu anhuma ketika kelihatan kainnya menjulur (isbal) : wahai Abdulloh, angkatlah kainmu ! kemudian beliau berkata : angkatlah lagi ! dan hadits-hadits lainnya, yang tidak ada keterangan tentang bolehnya isbal jika tidak sombong !.

2. Sesungguhnya Abu bakar tidak mengatakan : “aku jadikan kainku panjang” atau “aku memakai pakaian panjang ” tetapi beliau berkata : “inna ahada syiqqoy izaari” (sesungguhnya kainku yang sebelah), dalam riwayat lain “inna syiqqi izaari” (sesungguhnya sebelah kainku), dalam riwayat yang lain lagi “inna ahada jaanibay izaari” (sesungguhnya kainku yang sebelah). Lafadz “assyiqqi” (dengan syin kasroh) dalam lisanul arob : assyiqqi dan assyiqqoh (dengan kasroh) berarti : “setengan dari pada sesuatu apabila dibelah”, dari sini diketahui bahwa yang dimaksud oleh Abu Bakar ialah setengan dari kainnya, adapun riwayat “inna izaari yastarkhii” (sesungguhnya kainku melorot), lalu berkata “ahyaanan” (kadang-kadang) . dan hampir di semua riwayat menyebutkan kalimat “yastarkhii”, dan dapat dipahami bahwa beliau tidak melakukannya dengan kesengajaan, karena kain beliau melorot dengan sendirinya, sebagaimana beliau katakan : “illa an ata’aahada dzalika minhu” atau “liata’aahada dzalika minhu” (tetapi aku selalu berusaha menjaga kain itu dari isbal).

Berkata Abu Toyyib : “ta’aahuduhu” berasal dari kalimat “at ta’aahud” yang berarti menjaga dan memelihara, maksudnya ialah sebelah kainnya yang melorot ketika digerakkan atau berjalan tanpa beliau sengaja, apabila beliau terjaga kain itu tidak akan melorot, karena setiap mau melorot beliau menariknya” . (Aunul ma’bud 11/141)

Keadaan yang Abu Bakar ceritakan kepada Rosululloh ini dijawab oleh beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam : “engkau bukanlah dari mereka (yang berbuat sombong) atau “engkau bukanlah orang yang berbuat sombong”, ini adalah sebuah kebenaran yang jelas, dan hendaknya setiap muslim berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam menjaga kainnya yaitu dengan menariknya apabila melorot bukanlah dari kesombongan sedikitpun, akan tetapi bagaimana mungkin perbuatan Abu Bakar dikiaskan (baca : disamakan) dengan orang yang menyengaja memakai pakaian panjang (isbal), lalu pergi ke tukang jahit dan mensyaratkan agar panjangnya sampai menyentuh tanah ?.

Begitu pula sebenarnya Abu Bakar tidak merelakan dirinya membiarkan kainnya melorot, untuk itu setiap kain itu melorot beliau langsung tarik, dengan dalih perkataan beliau : “inni la ata’aahadu dzalika minhu” (aku selalu berusaha menjaga kain dari isbal). Beliau “selalu” menjaga dan berikrar pada dirinya untuk terus menjaga dari isbal, karena kalimat “ata’aahadu” (seperti yang baliau ucapkan) adalah fi’il mudhori’ (kata kerja untuk menunjukkan kejadian pada masa sekarang dan yang akan datang)

3. Sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam : “barang siapa yang memanjangkan kainnya dengan sombong maka Alloh tidak akan melihatnya pada hari kiamat” lalu Abu Bakar berkata : sesungguhnya kainku yang sebelah melorot, Rosul menjawab dengan sabdanya “engkau bukanlah termasuk dari mereka”, dari sini dapat dipahami bahwa Rosululloh tidak mencela pemahaman Abu Bakar, beliau pun Shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan perkataannya kepada Abu Bakar saja, dengan ini berarti Abu Bakar telah berikrar bahwa isbal itu adalah kesombongan, beliaupun membersihkan diri dari hal itu karena melorot pada kainnya bukanlah sesuatu yang beliau kehendaki.

4. Sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar : “engkau bukanlah dari mereka (yang berbuat sombong), artinya engkau wahai Abu Bakar (memakai taa’ul khitob), jika engkau berbuat demikian dengan selalu menjaga kainmu dari isbal niscaya akan mengeluarkanmu dari golongan (orang-orang sombong), sedang mereka itu sebenarnya telah berbuat sombong, karena mereka tidak mengangkat kain mereka, bagaimana mereka akan mengangkat sedang mereka menyengaja untuk itu, kalaupun seandainya diangkat lalu tampaklah mata kaki mereka niscaya mereka akan malu dari manusia !.

Syubhat ke-dua :

Syubhat yang selalu mereka gembar-gemborkan dalam menanggapi hadits Nabi : “Dan jauhkanlah dirimu dari berbuat isbal, karena isbal itu termasuk dari kesombongan” , mereka mengatakan : kata (min : dari) menunjukkan tab’idh (sebagian), untuk itu ada isbal karena sombong dan juga ada isbal yang tidak karena sombong.

Jawaban :
Aku katakan : bahwa ini adalah pemahaman yang salah terhadap hadits, walau (min) memang untuk tab’idh (menunjukkan makna sebagian), tetapi ma’nanya bukan seperti yang mereka pahami, itu justru menunjukkan bahwa lafadz (al makhilah : sombong) bersifat umum masuk didalamnya isbal kain dan yang selainnya dan ini menjadi jelas tanpa diragukan bahwa isbal adalah kesombongan, dan pengulangan konteks hadits di atas ditujukan kepada orang yang sombong, karena sombong itu lebih besar perkaranya dari pada isbal dan hukumannya lebih berat seperti sabdanya : “Alloh tidak akan melihatnya” , dan “berteriak di dalam bumi sampai hari kiamat” ,dan yang selainnya, Nabi pun mengkabarkan bahwa kesombongan adalah haram begitu pula hal-hal yang dapat menyampaikan ke arah sombong, dan contoh yang paling jelas ialah isbal pada kain, sesungguhnya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam mengancam dari isbal dengan sabdanya : “dan jauhkanlah dirimu dari isbal” . sebenarnya dengan hadits ini dan hadits-hadits yang lain sudah cukup untuk membatalkan dalih mereka, karena orang yang meyakini dengan syubhat ini ia hanya mengambil sebagian hadits lalu memahaminya dengan salah, dan mereka pun meninggalkan sebagian hadits yang lain, tidakkah Rosululloh menyuruh ia dengan sabdanya : “angkatlah kainmu sampai setengah betis” ?, sedangkan qorinah yang membatasinya hanya sampai pada mata kaki, adakah qorinah yang menyatakan untuk melebihkan dari mata kaki ?, tidakkah beliau memberi dua pilihan antara setengah betis dan di atas mata kaki dan mengancam yang melebihi darinya ?, kalau seandainya yang di fahami dari hadits tersebut memang seperti apa yang mereka yakini yaitu boleh memanjangkan kain apabila tidak sombong, maka apa tujuan Nabi menyebutkan setengah betis dan sebatas mata kaki ?, kenapa manusia tidak berfikir sebentar dan berkata dalam hatinya “kalau memang diperbolehkan isbal bagi orang yang tidak sombong itu adalah dasar dalam berpakaian, mengapa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam sampai menjelaskan dan berwasiat dengan segala wasiatnya dan mengancam dengan segala ancamannya, sampai-sampai beliau berlari mengejar seseorang dari Tsaqif ketika beliau melihatnya menjulurkan kainnya melebihi mata kaki ” ? .

Kemudian pada saat yang lain Nabi pun tidak menyebut kesombongan sebagai sebuah alasan dilarangnya isbal, padahal laki-laki tersebut sedang menutupi aib pada kakinya (seperti apa yang ia harapkan), tidakkah telah berlalu sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam : “kainnya seorang muslim itu sebatas setengah betis”. Telitilah dirimu !, kalau seandainya memanjangkan kain itu diperbolehkan dengan syarat tanpa kesombongan, lalu apa faedah dari hadits-hadits di atas ? apakah seseorang yang bodoh lebih-lebih yang berakal berprasangka bahwa apa yang dikatakan Nabi itu sia-sia belaka ?, lalu dimana firman Alloh : “Dan tidaklah Muhammad berkata deengan hawa nafsunya” (Surat An najm 3).
Dan di mana sabda Nabi kepada Abdulloh ibnu Umar ketika beliau Shollallohu alaihi wa Sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ke arah mulutnya, lalu beliau berkata : “tulislah !, demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali haq (kebenaran)” (.HR. Abu Daud (3646), Ahmad 2/162, 192, Ad darimi dalam muqoddimahnya)

Lihat lagi hadits Ibnu Umar !, ketika beliau Shollallohu alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk mengangkat kain, dan menegaskan agar mengangkatkannya lag sampai setengah betis. Begitu pula hadits Hudzaifah seperti yang belum jauh kami sebutkan. Dan hadits-hadits lainnya yang menerangkan tentang keharusan seorang muslim dalam menyikapi pakaiannya, dimana hadits-hadits tersebut tidaklah mensyaratkan kesombongan.

Syubhat ke-Tiga :

Ada beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi keluar dalam keadaan isbal :

Hadits Pertama:
Artinya:
“dari Abu Bakaroh berkata : ketika terjadi gerhana matahari, kami sedang bersama Nabi Shollallohu alaihi wa Sallam, beliapun berdiri dengan kainnya yang terjulur karena terburu-buru sampai beliau datang ke masjid dan manusia sedang berkumpul disana lalu sholat dua roka’at”(.HR. Bukhori 2/526, 547, 10/255, Nasa’I 3/127, 146, 152)

Hadits Kedua:
Artinya:
“Dari An nu’man bin Basyir berkata : terjadi gerhana matahari di zaman Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam , lalu beliaupun keluar dengan kainnya yang terjulur karena takut, sampai beliau mendatangi masjid dan sholat bersama kami sampai hilang (gerhananya)” (. HR. Abu Daud (1193), An nasa’i 3/141, Ibnu Majah (1262) dan sanadnya shohih)

Hadist Ketiga:
Artinya:
“Dari Abu Said Al khudzriy berkata : aku keluar bersama Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam pada hari senin ke Quba’, sampai ketika kami melewati Bani Salim, Rosulullah berdiri di pintu rumah ‘Itban, beliaupun meneriakinya lalu ia keluar dengan kainnya yang terjulur, Nabipun berkata : “kami telah membuatnya tergesa-gesa” . (HR.Muslim: 80, 343.)

Hadits Keempat:
Artinya:
“Dari ‘Imron bin Hushoin bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat ashar dan mengucapkan salam pada roka’at ke tiga, kemudian beliau masuk ke rumahnya, berdirilah seorang laki-laki bernama Al khorbaq, ia memakai kain dengan lengan yang terlalu panjang (isbal), lalu berkata : wahai Rosululloh, (ia pun menyebutkan apa yang dilakukan oleh Rosululloh), kemudian Rosululloh keluar dalam keadaan marah dengan sorban yang terjulur, setelah sampai kepada khalayak ramai, beliau berkata : “benarkah yang dikatakan orang tadi ?”( . HR.Muslim (101), (574), Abu Daud (1018), An nasa’i 3/26, Ibnu Majah (1215)

Jawaban :
Ya, memang telah disebutkan dalam riwayat bahwa beliau keluar dalam keadaan kain yang terjulur, tapi bukan berarti ini bisa dijadikan dalih bagi orang yang mengatakan bolehnya isbal apabila tidak disertai sombong, itu disebabkan karena hadits-hadits di atas menyebutkan tentang keadaan isbalnya kain dalam keadaan tertentu, seperti terburu-buru, takut atau marah, dan ini jelas menunjukkan ketergesaan serta tidak adanya maksud memakai dalam bentuk seperti itu, seseorang tersebut tergesa-gesa dan terjulur kainnya, karena ia tidak pelan-pelan dalam memakainya, dan makna seperti ini sungguh sangat jelas dalam hadits-hadits yang menyebutkan tentang menjulurnya kain dengan alasan-alasan tertentu saperti kasus di atas.

Berkata Imam Nawawi : (arti dari menjulurkan sorban dalam hadits diatas) ialah dikarenakan Rosululloh terlalu sibuk dengan urusan sholat, sehingga beliau keluar dengan tanpa menyadari bahwa sorbannya terjulur, dan itu karena beliau tidak pelan-pelan ketika memakainya. (Dalam Ta’liq shohih Muslim hal. 405, 5/70 dengan syarah Imam Nawawi)

Begitu pula sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang ‘Itban, ketika ia keluar dengan kain yang terjulur : “kami telah membuatnya tergesa-gesa” yaitu, (kami telah membuatnya tergesa-gesa ketika ia baru saja menyelesaikan keperluannya dengan istrinya, dan belum memungkinkan untuk memakai pakaiannya), yaitu (kalau seandainya saja kami pelan-pelan dan tidak membuatnya tergesa, maka ia tidak akan keluar dengan kainnya yang terjulur), dan kalaupun perkaranya tidak seperti itu, kenapa Rosululloh sampai berkata : “kami telah membuatnya tergesa-gesa” ?, serta perbuatan beliau ketika sorbannya terjulur karena terburu-buru, hal seperti ini telah keluar dari kategori isbal, karena memang ada perbedaan besar antara orang yang menyengaja mamakainya isbal, dengan orang yang sebenarnya kainnya pendek tetapi terjulur karena suatu sebab, berkata Ibnu Hajar : “dalam hadits ini kalau seandainya isbal itu disebabkan oleh ketergesaan, maka tidak masuk dalam kategori larangan, seolah-olah larangan itu ditujukan kepada yang sombong (ketika memakainya), sebagaimana (hadits di atas) tidak bisa dijadikan dalih bagi orang yang menganggap bahwa larangan tersebut untuk selain yang meniatkan sombong, sehingga ia membolehkan (bagi dirinya) untuk memakai pakaian yang panjangnya menjulur sampai ke tanah” ( Fathul baari 10/255)

Sebelum selesai aku menasehatkan kepada saudaraku sesama muslim, hendaknya menjadikan para Salaf sebagai qudwah dan menjadikan Nabi sebagai uswah, seperti firman Alloh Subhanahu wa ta’ala :
“ Sungguh terdapat pada diri Rosululloh bagi kalian uswatun hasanah, bagi orang-orang yang mengharap Alloh dan hari akhir dan banyak berdzikir kepada Allah “( QS. Al ahzab :21)
orang yang selalu berharap dari Alloh untuk memperoleh rizki yang baik di dunia, dan tempat yang baik di akhirat, maka seharusnya ia berqudwah dengan Rosululloh Shollallahu alaihi wa Sallam dalam perkara kecil lebih-lebih yang besar sebisa mungkin, karena beliau tidak pernah memandang remeh perkara ini, bahkan beliau menganggapnya besar dan penting,untuk itu kita dapati beliau Shollallohu alaihi wa Sallam mengejar seorang yang kainnya terlihat terjulur panjang, beliaupun menaruh tangannya di kening beliau tawadhu’ kepada Alloh ketika melihat seseorang yang kainnya panjang terjulur, dan begitulah beliau Shollallohu alaihi wa Sallam menganggap perkara ini sebagai dosa besar, begitupun sahabat-sahabat beliau Radhiallohu ‘anhum mereka tidak memakai kain kecuali di atas mata kaki, dan mayoritas mereka memakainya sebatas setengah betis, sebagai bukti ketaatan mereka kepada Rosululloh dan mempraktekkan perintahnya, tidak seperti halnya yang diyakini oleh “sebagian orang yang tidak tahu”, mereka mengatakan bahwa kain pada waktu itu sangat sedikit dan para sahabat kebanyakan miskin tidak mempunyai harta untuk membeli pakaian mereka, dan mungkin ungkapan-ungkapan lain yang mereka lontarkan, kalau seandainya mereka mau meneliti kembali teks-teks yang kami telah sebutkan sebagiannya niscaya mereka akan mengetahui bahwa mereka telah mengatakan dengan sembarangan pada apa-apa yang mereka tidak tahu, dan mereka mengatakan dengan tanpa ilmu padahal sebenarnya tidak seperti apa yang mereka sangka, bahkan mereka para sahabat lebih memilih untuk ittiba’ kepada Nabi sebagaimana itu sudah menjadi keinginan hati mereka.

Dengan kemudahan dari Alloh inilah yang dapat saya rangkum dan kumpulkan tentang permasalahan isbal, seandainya ada kebenaran ,maka itu datang dari Alloh dan apabila ada kesalahan itu datang dari diri saya, dan saya memohon kepada Alloh agar menjadikannya bermanfaat.

Maha suci bagi Alloh dan sekalian pujian hanya untuk-Nya, aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq selain Engkau, aku memohon ampum dan bertaubat padaMu, dan akhir dari do’a kami Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. (Team Redaksi Al-Sofwa)

Sumber: Hati Bening

Selasa, 16 Juni 2009

Kisah Seguci Emas & Kisah Sebutir Apel

Sebuah kisah yang terjadi di masa lampau, sebelum Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan. Kisah yang menggambarkan kepada kita pengertian amanah, kezuhudan, dan kejujuran serta wara’ yang sudah sangat langka ditemukan dalam kehidupan manusia di abad ini.

Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَقَارًا لَهُ فَوَجَدَ الرَّجُلُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ فِي عَقَارِهِ جَرَّةً فِيهَا ذَهَبٌ فَقَالَ لَهُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ: خُذْ ذَهَبَكَ مِنِّي إِنَّمَا اشْتَرَيْتُ مِنْكَ الْأَرْضَ وَلَمْ أَبْتَعْ مِنْكَ الذَّهَبَ. وَقَالَ الَّذِي لَهُ الْأَرْضُ: إِنَّمَا بِعْتُكَ الْأَرْضَ وَمَا فِيهَا. فَتَحَاكَمَا إِلَى رَجُلٍ فَقَالَ الَّذِي تَحَاكَمَا إِلَيْهِ: أَلَكُمَا وَلَدٌ؟ قَالَ أَحَدُهُمَا: لِي غُلَامٌ. وَقَالَ الآخَرُ: لِي جَارِيَةٌ. قَالَ: أَنْكِحُوا الْغُلَامَ الْجَارِيَةَ وَأَنْفِقُوا عَلَى أَنْفُسِهِمَا مِنْهُ وَتَصَدَّقَا

Ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari seseorang. Ternyata di dalam tanahnya itu terdapat seguci emas. Lalu berkatalah orang yang membeli tanah itu kepadanya: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”

Si pemilik tanah berkata kepadanya: “Bahwasanya saya menjual tanah kepadamu berikut isinya.”

Akhirnya, keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu: “Apakah kamu berdua mempunyai anak?”

Salah satu dari mereka berkata: “Saya punya seorang anak laki-laki.”

Yang lain berkata: “Saya punya seorang anak perempuan.”

Kata sang hakim: “Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua.”

Sungguh, betapa indah apa yang dikisahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Di zaman yang kehidupan serba dinilai dengan materi dan keduniaan. Bahkan hubungan persaudaraan pun dibina di atas kebendaan, Wallahul musta’an.

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan, transaksi yang mereka lakukan berkaitan sebidang tanah. Si penjual merasa yakin bahwa isi tanah itu sudah termasuk dalam transaksi mereka. Sementara si pembeli berkeyakinan sebaliknya; isinya tidak termasuk dalam akad jual beli tersebut.

Kedua lelaki ini tetap bertahan, lebih memilih sikap wara’, tidak mau mengambil dan membelanjakan harta itu, karena adanya kesamaran, apakah halal baginya ataukah haram?

Mereka juga tidak saling berlomba mendapatkan harta itu, bahkan menghindarinya. Simaklah apa yang dikatakan si pembeli tanah: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”

Barangkali kalau kita yang mengalami, masing-masing akan berusaha cari pembenaran, bukti untuk menunjukkan dirinya lebih berhak terhadap emas tersebut. Tetapi bukan itu yang ingin kita sampaikan melalui kisah ini.

Hadits ini menerangkan ketinggian sikap amanah mereka dan tidak adanya keinginan mereka mengaku-aku sesuatu yang bukan haknya. Juga sikap jujur serta wara’ mereka terhadap dunia, tidak berambisi untuk mengangkangi hak yang belum jelas siapa pemiliknya. Kemudian muamalah mereka yang baik, bukan hanya akhirnya menimbulkan kasih sayang sesama mereka, tetapi menumbuhkan ikatan baru berupa perbesanan, dengan disatukannya mereka melalui perkawinan putra putri mereka. Bahkan, harta tersebut tidak pula keluar dari keluarga besar mereka. Allahu Akbar.

Bandingkan dengan keadaan sebagian kita di zaman ini, sampai terucap dari mereka: “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal?” Subhanallah.

Kemudian, mari perhatikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma:

وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar) berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram.”

Sementara kebanyakan kita, menganggap ringan perkara syubhat ini. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, bahwa siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar itu, bisa jadi dia jatuh ke dalam perkara yang haram. Orang yang jatuh dalam hal-hal yang meragukan, berani dan tidak memedulikannya, hampir-hampir dia mendekati dan berani pula terhadap perkara yang diharamkan lalu jatuh ke dalamnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan pula dalam sabdanya yang lain:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ

“Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang tidak meragukanmu.”

Yakni tinggalkanlah apa yang engkau ragu tentangnya, kepada sesuatu yang meyakinkanmu dan kamu tahu bahwa itu tidak mengandung kesamaran.

Sedangkan harta yang haram hanya akan menghilangkan berkah, mengundang kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghalangi terkabulnya doa dan membawa seseorang menuju neraka jahannam.

Tidak, ini bukan dongeng pengantar tidur.

Inilah kisah nyata yang diceritakan oleh Ash-Shadiqul Mashduq (yang benar lagi dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Kedua lelaki itu menjauh dari harta tersebut sampai akhirnya mereka datang kepada seseorang untuk menjadi hakim yang memutuskan perkara mereka berdua. Menurut sebagian ulama, zhahirnya lelaki itu bukanlah hakim, tapi mereka berdua memintanya memutuskan persoalan di antara mereka.

Dengan keshalihan kedua lelaki tersebut, keduanya lalu pergi menemui seorang yang berilmu di antara ulama mereka agar memutuskan perkara yang sedang mereka hadapi. Adapun argumentasi si penjual, bahwa dia menjual tanah dan apa yang ada di dalamnya, sehingga emas itu bukan miliknya. Sementara si pembeli beralasan, bahwa dia hanya membeli tanah, bukan emas.

Akan tetapi, rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat mereka berdua merasa tidak butuh kepada harta yang meragukan tersebut.

Kemudian, datanglah keputusan yang membuat lega semua pihak, yaitu pernikahan anak laki-laki salah seorang dari mereka dengan anak perempuan pihak lainnya, memberi belanja keluarga baru itu dengan harta temuan tersebut, sehingga menguatkan persaudaraan imaniah di antara dua keluarga yang shalih ini.

Perhatikan pula kejujuran dan sikap wara’ sang hakim. Dia putuskan persoalan keduanya tanpa merugikan pihak yang lain dan tidak mengambil keuntungan apapun. Seandainya hakimnya tidak jujur atau tamak, tentu akan mengupayakan keputusan yang menyebabkan harta itu lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangannya.

Pelajaran yang kita ambil dari kisah ini adalah sekelumit tentang sikap amanah dan kejujuran serta wara’ yang sudah langka di zaman kita.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Syarah Riyadhis Shalihin mengatakan:
Adapun hukum masalah ini, maka para ulama berpendapat apabila seseorang menjual tanahnya kepada orang lain, lalu si pembeli menemukan sesuatu yang terpendam dalam tanah tersebut, baik emas atau yang lainnya, maka harta terpendam itu tidak menjadi milik pembeli dengan kepemilikannya terhadap tanah yang dibelinya, tapi milik si penjual. Kalau si penjual membelinya dari yang lain pula, maka harta itu milik orang pertama. Karena harta yang terpendam itu bukan bagian dari tanah tersebut.

Berbeda dengan barang tambang atau galian. Misalnya dia membeli tanah, lalu di dalamnya terdapat barang tambang atau galian, seperti emas, perak, atau besi (tembaga, timah dan sebagainya). Maka benda-benda ini, mengikuti tanah tersebut.

Kisah lain, yang mirip dengan ini, terjadi di umat ini. Kisah ini sangat masyhur, wallahu a’lam.
Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in. Di sebuah jalan, di salah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda. Tiba-tiba dia melihat sebutir apel jatuh dari tangkainya, keluar dari sebidang kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut apel yang nampak segar itu. Dengan tenang, dia memakannya.

Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian ditelannya, tersentaklah dia. Apel itu bukan miliknya! Bagaimana mungkin dia memakan sesuatu yang bukan miliknya?
Akhirnya pemuda itu menahan separuh sisa apel itu dan pergi mencari penjaga kebun tersebut. Setelah bertemu, dia berkata: “Wahai hamba Allah, saya sudah menghabiskan separuh apel ini. Apakah engkau mau memaafkan saya?”

Penjaga itu menjawab: “Bagaimana saya bisa memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya. Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun apel ini.”

“Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit.

“Rumahnya jauh sekitar lima mil dari sini,” kata si penjaga.

Maka berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun untuk meminta kerelaannya karena dia telah memakan apel milik tuan kebun tersebut.

Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan ketakutan: “Wahai hamba Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke sini?”

“Tidak,” kata pemilik kebun.

“Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh apel milik anda yang saya temukan dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”

“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau menerima syaratku,” katanya.

Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”

Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi putriku.”

Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri anda? Ini anugerah yang besar.”

Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya maafkan.”

Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.”

Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu, saya katakan bahwa putriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu berdiri.”

Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh apel yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?

“Kalau kau mau, datanglah sesudah ‘Isya agar bisa kau temui istrimu,” kata pemilik kebun tersebut.

Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar istrinya dan memberi salam.

Sekali lagi pemuda itu kaget luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat tangannya. Pemuda itu masih heran kebingungan, kata mertuanya, putrinya adalah gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa gerangan dia?

Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan begitu rupa tentang putrinya.

Istrinya itu balik bertanya: “Apa yang dikatakan ayahku?”

Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”

“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.

“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala murka.”

“Dia katakan kamu tuli.”

“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

“Dia katakan kamu lumpuh.”


“Ya. Karena saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke tempat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”


Pemuda itu memandangi wajah istrinya, yang bagaikan purnama. Tak lama dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih, yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah rahimahullahu.


Duhai, sekiranya pemuda muslimin saat ini meniru pemuda Tsabit, ayahanda Al-Imam Abu Hanifah. Duhai, sekiranya para pemudinya seperti sang ibu, dalam ‘kebutaannya, kebisuan, ketulian, dan kelumpuhannya’.


Demikianlah cara pandang orang-orang shalih terhadap dunia ini. Adakah yang mengambil pelajaran?

Wallahul Muwaffiq.

Sumber: Asy Syariah

Senin, 15 Juni 2009

Harun Ar-Rasyid, Amir di Era Keemasan Islam.


Era keemasan Islam (The Golden Ages of Islam) tertoreh pada masa ke pemimpinannya. Perhatiannya yang begitu besar terhadap kesejahteraan rakyat serta kesuksesannya mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi, ekonomi, perdagangan, politik, wilayah kekuasaan, serta peradaban Islam telah membuat Dinasti Abbasiyah menjadi salah satu negara adikuasa dunia di abad ke-8 M.

Amir para khalifah Abbasiyah itu bernama Harun Ar-Rasyid. Dia adalah raja agung pada zamannya. Konon, kehebatannya hanya dapat dibandingkan dengan Karel Agung (742 M - 814 M) di Eropa. Pada masa kekuasaannya, Baghdad ibu kota Abbasiyah - menjelma menjadi metropolitan dunia. Jasanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban hingga abad ke-21 masih dirasakan dan dinikmati masyarakat dunia.

Figur Harun Ar-Rasyid yang legendaris ini terlahir pada 17 Maret 763 M di Rayy, Teheran, Iran. Dia adalah putera dari Khalifah Al-Mahdi bin Abu Ja’far Al-Mansur khalifah Abbasiyah ketiga. Ibunya bernama Khaizuran seorang wanita sahaya dari Yaman yang dimerdekakan dan dinikahi Al-Mahdi. Sang ibu sangat berpengaruh dan berperan besar dalam kepemimpinan Al-Mahdi dan Harun Ar-Rasyid.

Sejak belia, Harun Ar-Rasyid ditempa dengan pendidikan agama Islam dan pemerintahan di lingkungan istana. Salah satu gurunya yang paling populer adalah Yahya bin Khalid. Berbekal pendidikan yang memadai, Harun pun tumbuh menjadi seorang terpelajar. Harun Ar-Rasyid memang dikenal sebagai pria yang berotak encer, berkepribadian kuat, dan fasih dalam berbicara.

Ketika tumbuh menjadi seorang remaja, Harun Ar-Rasyid sudah mulai diterjunkan ayahnya dalam urusan pemerintahan. Kepemimpinan Harun ditempa sang ayah ketika dipercaya memimpin ekspedisi militer untuk menaklukk Bizantium sebanyak dua kali. Ekspedisi militer pertama dipimpinnya pada 779 M - 780 M. Dalam ekspedisi kedua yang dilakukan pada 781-782 M, Harun memimpin pasukannya hingga ke pantai Bosporus. Dalam usia yang relatif muda, Harun Ar-Rasyid yang dikenal berwibawa sudah mampu menggerakkan 95 ribu pasukan beserta para pejabat tinggi dan jenderal veteran. Dari mereka pula, Harun banyak belajar tentang strategi pertempuran.

Sebelum dinobatkan sebagai khalifah, Harun didaulat ayahnya menjadi gubernur di As-Siafah tahun 779 M dan di Maghrib pada 780 M. Dua tahun setelah menjadi gubernur, sang ayah mengukuhkannya sebagai putera mahkota untuk menjadi khalifah setelah saudaranya, Al-Hadi. Pada 14 Septempber 786 M, Harun Ar-Rasyid akhirnya menduduki tahta tertinggi di Dinasti Abbasiyah sebagai khalifah kelima.

Harun Ar-Rasyid berkuasa selama 23 tahun (786 M - 809 M). Selama dua dasawarsa itu, Harun Al-Rasyid mampu membawa dinasti yang dipimpinnya ke peuncak kejayaan. Ada banyak hal yang patut ditiru para pemimpin Islam di abad ke-21 ini dari sosok raja besar Muslim ini. Sebagai pemimpin, dia menjalin hubungan yang harmonis dengan para ulama, ahli hukum, penulis, qari, dan seniman.

Ia kerap mengundang para tokoh informal dan profesional itu keistana untuk mendiskusikan berbagai masalah. Harun Ar-Rasyid begitu menghagai setiap orang. Itulah salah satu yang membuat masyarakat dari berbagai golongan dan status amat menghormati, mengagumi, dan mencintainya. Harun Ar-Rasyid adalah pemimpin yang mengakar dan dekat dengan rakyatnya. Sebagai seorang pemimpin dan Muslim yang taat, Harun Ar-Rasyid sangat rajin beribadah. Konon, dia terbiasa menjalankan shalat sunat hingga seratus rakaat setiap harinya. Dua kali dalam setahun, khalifah kerap menunaikan ibadah haji dan umrah dengan berjalan kaki dari Baghdad ke Makkah. Ia tak pernah lupa mengajak para ulama ketika menunaikan rukun Islam kelima.

Jika sang khalifah tak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji, maka dihajikannya sebanyak tiga ratus orang di Baghdad dengan biaya penuh dari istana. Masyarakat Baghdad merasakan dan menikmati suasana aman dan damai di masa pemerintahannya. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harus Ar-Rasyid tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam hidupnya. Tanpa ragu-ragu Harun Ar- Rasyid memecat dan memenjarakan Yahya bin Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir).

Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,87 juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya. Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya. Konon, Harun Ar-Rasyid adalah khalifah yang berprawakan tinggi, bekulit putih, dan tampan. Di masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah kekuasaan yang terbentang luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah Barat hingga ke India di sebelah Timur. Meski begitu, tak mudah bagi Harun Ar-Rasyid untuk menjaga keutuhan wilayah yang dikuasainya.

Berbagai pemberontakan pun tercatat sempat terjadi di era kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat terjadi di masa kekuasaannya antara lain; pemberontakan Khawarij yang dipimpin Walid bin Tahrif (794 M); pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M); serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin Abi Taglib (792 M). Salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda adalah perhatiannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Di masa kepemimpinannya terjadi penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa.

Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan perabadan. Pada era itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah - perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu keagamaan. Sang khalifah tutup usia pada 24 Maret 809 M pada usia yang terbilang muda 46 tahun. Meski begitu pamor dan popularitasnya masih tetap melegenda hingga kini. Namanya juga diabadikan sebagai salah satu tokoh dalam kitab 1001 malam yang amat populer. Pemimpin yang baik akan tetap dikenang sepanjang masa.

Pemimpin yang Prorakyat

Di era modern ini begitu sulit menemukan pemimpin yang benar-benar mencintai dan berpihak kepada rakyatnya. Sosok pemimpin yang mencintai rakyat pastilah akan dicintai dan dikagumi rakyatnya. Salah seorang pemimpin Muslim yang terbilang langka itu hadir di abad ke-8 M. Pemimpin yang pro rakyat itu bernama Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Sang khalifah benar-benar memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan negara, Harun Ar-Rasyid berupaya dengan keras memajukan perekonomian serta perdagangan. Pertanian juga berkembang dengan begitu pesat, lantaran khalifah begitu mena ruh perhatian yang besar dengan membangun saluran irigasi. Langkah pemerintahan Harun Ar-Rasyid yang serius ingin menyejahterakan rakyatnya itu mendapat dukungan rakyatnya. Kemajuan dalam sektor perekonomian, perdagangan dan pertanian itu membuat Baghdad menjadi pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia saat itu.

Dengan kepastian hukum serta keamanan yang terjamin, berbondong-bondong para saudagar dari berbagai penjuru dunia bertransaksi melakukan pertukaan barang dan uang di Baghdad. Negara pun memperoleh pemasukan yang begitu besar dari perekonomian dan perdagangan itu serta tentunya dari pungutan pajak. Pemasukan kas negara yang begitu besar itu tak dikorup sang khalifah. Harun Ar-Rasyid menggunakan dana itu untuk pembangunan dan menyejahterakan rakyatnya. Kota Baghdad pun dibangun dengan indah dan megah. Gedunggedung tinggi berdiri, sarana peribadatan tersebar, sarana pendidikan pun menjamur, dan fasilitas kesehatan gratis pun diberikan dengan pelayanan yang prima.

Sarana umum lainnya seperti kamar mandi umum, taman, jalan serta pasar juga dibangun dengan kualitas yang sangat baik. Khalifah pun membiayai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan serta penelitian. Negara menempatkan para ulama dan ilmuwan di posisi yang tinggi dan mulia. Mereka dihargai dengan memperoleh gaji yang sangat ting gi. Setiap tulisan dan penemuan yang dihasilkan ulama dan ilmuwan dibayar mahal oleh negara.

Sangat pantas bila keluarga khalifah dan pejabat negara lainnya hidup dalam segala kemewahan pada zamannya. Sebab, kehidupan rakyatnya juga berada dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Tak seperti pemimpin kebanyakan yang hidup dengan kemewahan di atas penderitaan rakyatnya. Sampai kapan pun, sosok Harun Ar-Rasyid layak ditiru dan dijadikan panutan para pemim - pin dan calon pemimpin yang ingin mencitai dan berpihak pada rakyatnya.

Jejak Hidup Sang Khalifah Agung Tahun 763 M : Pada 17 Maret, Harun terlahir di Rayy.
Tahun 780 M : Memimpin pasukan militer melawan Bizantium.
Tahun 782 M: Kembali memimpin pa - suk an melawan Bizantium hingga ke Bos porus.
Tahun 786 M: 14 September saudaranya Al-Hadi - khalifah keempat meninggal dunia.
Tahun 791 M: Harun kembali berperang melawan Bizantium.
Tahun 795 M: Harun meredam pembenrontakan Syiah dan memenjarakan
Musa Al-Kazim. Tahun 796 M: Harun memindahkan istana dan pusat pemerintahan dari Baghdad ke Ar-Raqqah.
Tahun 800 M: Harun mengangkat Ibrahim ibnu Al-Aghlab sebagai gubernur Tunisia.
Tahun 802 M: Harun menghadiahkan dua gajah albino ke Charlemagne sebagai hadiah diplomatik.
Tahun 803 M: Yahya bin Khalid (perdana menteri yang dipecat karena korupsi meninggal dunia.
Tahun 807 M: Kekuatan Harun mengusai Siprus.
Tahun 809 M: Harun meninggal dunia ketika melakukan perjalanan di bagian timur wilayah kekuasaannya.

Sumber: Suara Media

Minggu, 14 Juni 2009

Tak akan Tegak Peradaban Tanpa Ilmu

Oleh: Hamim Thohari (Sekretaris Dewan Syura Hidayatullah)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) memang lahir dan besar di lingkungan yang ummiy, yaitu kaum yang tidak bisa membaca dan berhitung.

Ini diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) dalam firman-Nya: Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf (ummiy) dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Al-Jumu’ah [62]: 2)

Namun, sebagaimana para Nabi yang diutus sebelumnya, Nabi Muhammad SAW bukan berasal dari golongan badui. Allah SWT sendiri menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), melainkan lelaki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk kota.” (Yusuf [12]: 109)

Kufur dan Nifa

Dalam tafsir Ruhul Ma’ani, Al-Hasan berkata: “Allah tidak mengutus seorang Rasul dari penduduk Badui, dan tidak juga dari kaum wanita dan jin.”

Mengapa? Sebab, tugas para Nabi adalah membangun peradaban. Tugas amat berat ini tidak mungkin dilaksanakan oleh orang yang secara alami berasal dari kaum yang tidak mau belajar dan menolak segala jenis perubahan. Padahal, tugas para Nabi justru melakukan perubahan. Sedang segala jenis perubahan itu berawal dari proses belajar.

Ada dua kendala besar yang menghalangi orang-orang Badui belajar dan melakukan perubahan. Pertama, mereka memiliki sifat kufur. Kedua, mereka memiliki sifat nifaq. Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya:

“Orang-orang Arab Badui itu lebih kuat kekafiran dan kemunafikannya, dan sangat wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah [9]: 97)

Kufur artinya menutup. Orang yang kufur berarti orang yang menutup diri dari segala informasi dan kebenaran yang datang dari luar dirinya atau kelompoknya. Mereka tidak mau belajar, bahkan menolak untuk mempelajari ilmu.

Tingkatan sedikit di bawah kufur adalah fanatis. Orang yang fanatis hanya menerima kebenaran dari golongannya sendiri. Mereka tidak bersifat kritis terhadap segala hal yang datang dari kelompoknya.

Adapun nifaq berarti menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.

Allah SWT menggambarkan orang-orang seperti ini dalam al-Qur`an: Dan apabila dikatakan kepada mereka, ”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, ”(Tidak!) Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami. Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah [2]: 170)

Orang-orang Badui – yang memiliki sifat kufur dan nifaq-- sulit diajak berubah, apalagi diajak membangun peradaban baru yang lebih ideal dan lebih menjanjikan. Mereka lebih memilih hidup “serba kekurangan” daripada hidup lebih baik tapi mengandung risiko gagal.

Anjuran Belajar

Adapun kaum ummiy, di mana Rasulullah SAW lahir dan dibesarkan, berbeda dengan Badui. Mereka belum bisa membaca dan berhitung semata-mata karena tinggal di wilayah yang jauh dari peradaban saat itu.

Mereka bodoh semata-mata karena ketidaktahuannya. Terbukti, setelah mereka memperoleh kesempatan belajar, mereka sungguh-sungguh. Maka, dalam waktu relatif singkat mereka mampu membaca, menulis, berhitung, dan menguasai berbagai disiplin ilmu, termasuk teknologi.

Rasulullah SAW, ketika menyadari sebagian besar pengikutnya masih buta huruf, langsung memerintahkan para sahabat yang bisa baca-tulis untuk mengajari sahabat lain yang belum bisa.

Bahkan, beliau memberi tawaran menarik kepada para tawanan perang yang mau menjadi guru privat (untuk mengajari baca tulis) kepada kaum muslimin, juga anak-anak yang masih buta huruf. Imbalan mereka adalah pembebasan dari status tawanan.

Inilah revolusi besar yang dilalukan Rasulullah SAW dalam membangun peradaban. Beliau sepenuhnya menjalankan skenario Allah SWT dengan menjadikan perintah membaca (iqra) sebagai dasar utama membangun peradaban.

Hanya dengan cara membaca (belajar menguasai ilmu) mereka dapat melakukan perubahan. Perubahan dari pemahaman semu dan dangkal kepada pemahaman yang luas dan mendalam. Dari pemikiran mistik yang penuh takhayyul dan khurafat kepada pemikiran sehat dan rasional yang lebih mengedepankan bukti.

Dari pemikiran taqlid buta dan fanatis, kepada pemikiran yang bebas, independen, dan toleran. Dari pemikiran yang angkuh dan sombong kepada pemikiran yang tawadhu dan menghargai perbedaan.

Manusia Terhormat

Sebelum manusia diperintahkan untuk menuntut ilmu (belajar), Allah SWT sesungguhnya telah membekali manusia sebuah potensi belajar secara alamiah. Potensi tersebut berupa keingin tahuan mengenali segala sesuatu.

Hasrat untuk mengetahui dan mengenali segala sesuatu yang belum diketahui melahirkan budaya riset, baik yang bersifat coba-coba maupun yang bersifat ilmiah. Hasrat inilah yang kelak melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi soko guru semua peradaban.

Tak satu pun peradaban manusia bisa tegak kecuali di dalamnya terdapat ilmu. Itulah sebabnya Islam memberi penghormatan yang tinggi kepada para ilmuwan dan orang-orang yang sedang menuntut ilmu. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang keluar rumah untuk belajar satu bab dari ilmu pengetahuan, maka ia tercatat sebagai mujahid (pejuang) fi sabilillah sampai ia kembali ke rumahnya.” (Riwayat Tirmidzi)

Tak tanggung-tanggung, Allah SWT juga mengangkat derajat mereka yang beriman dan berpengetahuan beberapa level di atas manusia rata-rata, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur`an: … niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (Al-Mujadilah [58]: 11)

Para ilmuwan adalah orang-orang yang mampu memberdayakan kemampuan nalar (reasoning power) dalam dirinya. Mereka tidak pernah berhenti bertanya dan berpikir mengenai segala kejadian.

Pada tahun 976 M, seorang ilmuwan besar telah memeras otaknya untuk menemukan cara praktis menuliskan bilangan dalam jumlah besar, sementara saat itu bilangan yang ada cuma angka Romawi. Ilmuwan itu adalah Muhammad bin Ahmad. Dialah yang menemukan angka 0 (nol) dalam bilangan angka Arab. Dengan penemuan itu, kita tidak akan menemukan kesulitan bila ingin menulis bilangan sebesar apapun.

Coba bayangkan bagaimana sulitnya ketika angka nol itu belum ditemukan. Sekadar simulasi, coba Anda tuliskan angka sepuluh dengan angka Romawi (X), lalu angka dua puluh (XX), kemudian seratus, lalu seribu.

Kini tuliskan angka sejuta tetap dengan menggunakan angka Rumawi, lalu satu miliar, lima milyar, satu triliun, dan dua puluh lima biliun. Betapa sulitnya!

Penemuan besar ini terus dikembangkan ilmuwan-ilmuwan Muslim berikutnya. Datanglah Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi yang menemukan aljabar, dasar ilmu pasti dan matematika. Dari sinilah berkembang sains dan teknologi yang mengagumkan. Dengan sains dan teknologi itulah akhirnya kita bisa membaca sebagian tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang ada di langit dan di bumi.

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat bukti-bukti bagi orang yang mengetahui. (Ar-Ruum [30]: 22)

Ayat sejenis sangat banyak dijumpai dalam al-Qur`an. Satu di antaranya adalah:

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menentukan tempat-tempat orbitnya agar kamu tahu jumlah tahun dan perhitungan (waktu). Tiada Allah menciptakan ini kecuali dengan sebenarnya. (Demikianlah) Dia menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bagi orang-orang yang mengetahui”. (Yunus [10]: 5)

Jika kita ingin kembali membangun peradaban Islam yang agung di abad ini, jalan satu-satunya adalah kembali ke iqra (bacalah!). Gairahkan kembali semangat dan budaya belajar, lahirkan cendikiawan sebanyak-banyaknya, hargai para ilmuwan, terutama ulama dan fuqaha, dan tunggu hasilnya. Insya Allah, Islam kembali jaya!

Sumber: Hidayatullah

Mendirikan BISNIS SOSIAL Untuk MENGENTASKAN KEMISKINAN, Siapa Berminat?

Bisnis Sosial merupakan cara jitu untuk mengentaskan kemiskinan. Silakan baca tulisan tulisan-tentang Bisnis Sosial di: http://bisnissosial.blogdetik.com/

Kesempatan kali ini kita akan mendiskusikan bagaimana tahap-tahap mendirikan Bisnis Sosial, sebagai berikut:

1. Membentuk Tim
Sebagaimana cara pendirian entitas bisnis pada umumnya, diperlukan orang-orang yang mengurus segala sesuatunya, sejak perencanaan, implementasi, evaluasi, pengembangan, sampai pemanfaatan hasil usaha Bisnis Sosial kepada orang-orang miskin. Untuk itu perlu dibentuk TIM yang menggerakkan roda Bisnis Sosial. Tim ini lah yang sangat menentukan keberhasilan Bisnis Sosial yang didirikan.

2. Membuat Badan Hukum
Bisnis sosial dapat dijalankan oleh perorangan maupun badan hukum. Namun sebuah perusahaan yang berbadan hukum biasanya akan lebih dipercaya pada saat berinteraksi dengan pihak ekstenal dari pada perusahaan perorangan. Oleh karena itu, sebuah entitas Bisnis Sosial lebih baik berbadan hukum baik berupa Yayasan, PT ataupun CV.

3. Menetapkan Bidang Bisnis
Memilih dan menetapkan bidang bisnis merupakan tahap yang sangat penting. Idealnya bidang bisnis yang dipilih memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Bidang bisnis yang pasti untung atau yang kemungkinannya untuk untung tinggi.
- Bidang bisnis yang dapat menyerap banyak tenaga kerja.
- Bidang bisnis yang produk atau jasa nya banyak dibutuhkan oleh masyarakat.
- Bidang bisnis yang mempunyai potensi untuk dikembangkan secara luas dan besar.

4. Mencari Sumber pendanaan
Mendirikan Bisnis Sosial akan jauh lebih mudah kalau memiliki sumber pendanaan. Adapun sumber-sumber permodalan Bisnis Sosial dapat berasal dari:
- Sumbangan pribadi
- Sumbangan Badan Usaha lain
- Badan Amal Zakat (BAZ)
- Dana CSR (Corporate Social Responsibility) BUMN dan Perusahaan Besar Lainnya.
- Penyertaan dari Yayasan/Foundation lain
- Bantuan Pemerintah
- Bantuan Lembaga Internasional
Bisnis Sosial bisa saja didirikan tanpa modal asal banyak orang (ada komunitas) yang mau berpartisipasi walaupun partisipasinya bukan dalam bentuk modal.

5. Menjalankan Aktivitas Bisnis Sosial
Inilah langkah inti dari sebuah entitas bisnis. Langkah ini menentukan hidup matinya atau besar kecilnya atau sukses tidaknya sebuah bisnis. Sebaik apapun rencana bisnis disusun biasanya ada saja deviasinya di lapangan. Oleh karena itu untuk meningkatkan tingkat keberhasilan Bisnis Sosial, sebaiknya mengikuti sistem yang sudah teruji dan terbukti berhasil dari suatu perusahaan PMB (Profit Making Bisnis).

6. Pemanfaatan hasil usaha
Pemanfaatan hasil usaha Bisnis Sosial adalah salah satu tujuan akhir dari pendirian Bisnis Sosial. Pemanfaatan hasil usaha Bisnis Sosial tidak boleh menyimpang dari tujuan awalnya, yaitu untuk memberikan manfaat sosial dan finansial khususnya bagi orang-orang miskin.

7. Audit External
Audit External diperlukan untuk menilai kesehatan perusahaan Bisnis Sosial, mengontrol pemanfaatan hasil usaha Bisnis Sosial, dan meningkatkan trust/ kepercayaan masyarakat serta pihak lainya terhadap entitas Bisnis Sosial. Tinggi rendahnya tingkat kepercayaan akan mempengaruhi besar kecilnya dukungan terhadap Bisnis Sosial yang bertalian.

Salah satu contoh entitas Bisnis Sosial yang dapat dijadikan referensi adalah Bank Grameen yang didirikan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh. Contoh entitas Bisnis Sosial di Indonesia, saya belum mengetahuinya (kalau ada rekan yang mengetahuinnya, mohon dapat disharing sebagai bahan referensi). Namun sekedar untuk gambaran, ada sebuah bisnis home industri/ pabrik kecil yang sarat dengan muatan sosial. Sejak awan pendiriannya, bisnis ini diniatkan untuk memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat miskin disekitarnya. Adapun misinya sangat sederhana yaitu:

  1. Menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, baik sebagai karyawan maupun sebagai reseller (sales dan agen).
  2. Memberikan manfaat ekonomi berupa gaji dan insentif untuk karyawan, serta komisi penjualan bagi para sales dan agen.
  3. Mengalokasikan laba yang diperoleh untuk membantu biaya pendidikan anak-anak dari keluarga miskin dan kemanfaatan sosial lainnya.


Bisnis ini didirikan bukan oleh orang-orang kaya, tetapi oleh orang-orang biasa yang mempunyai kepedulian sosial. Oleh karena itu, walaupun bisnis ini sangat kental dengan misi sosial, masih ada harapan dari para pendirinya untuk memperoleh manfaat finansial. Meskipun bisnis ini belum memenuhi status Bisnis Sosial Murni, akan tetapi sudah layak menyandang status Bisnis Sosial Hibrida atau Kewirausahaan Sosial.

Dibawah ini adalah gambar foto produk yang dihasilkan oleh home industri tersebut berupa deterjen bubuk botol dan sachet, sabun cair serba guna (cuci piring), dan softener (pelembut dan pewangi pakaian):

Foto-Sabun-3

Kita dapat berpartisipasi Dalam Bisnis Sosial dengan salah satu cara sebagai berikut:
- Menjadi investor Bisnis Sosial kalau memungkinkan
- Menjadi reseller produk atau jasa yang dihasilkan oleh Bisnis Sosial
- Menjadi pengguna produk atau jasa yang dihasilkan oleh Bisnis Sosial
- Turut mempromosikan produk atau jasa yang dihasilkan oleh Bisnis Sosial, baik melalui pemasangan backlink maupun melalui word of mouth (promosi mulut ke mulut)
- Memberikan dukungan motivasi dan do’a untuk keberhasilan Bisnis Sosial.

Dibutuhkan banyak sekali pelaku-pelaku Bisnis Sosial untuk mengentaskan kemiskinan di negara kita. Anda berminat berpartisipasi mengentaskan kemiskinan melalui pendirian Bisnis Sosial? Apabila anda berminat, silakan tinggalkan komentar anda di blog ini. Apa pun komentar anda pasti bermanfaat. Mudah-mudahan partisipasi kita dalam Bisnis Sosial menjadi amal kita untuk bekal di alam baka kelak, Amin.

Sumber: Bisnis Sosial

Seekor Kucing dan Malapetaka

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : "عُذِّبَتِ امْرَأَةٌفِيْ هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيْهَا النَّارُ، لاَ هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلاَ سَقَتْهَا إِذْ هِيَ حَبَسَتْهَ، وَلاَ هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ اْلأَرْضِ

Abdullah bin Umar r.a meriwayatkan bahwa Rasullah SAW bersabda : “Seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang dipenjara (dikurung) nya hingga kucing tersebut mati dan wanita itu pun masuk neraka, wanita tersebut tidak memberinya makan dan minum saat dia memenjarakan (mengurung)-nya dan tidak membiarkannya untuk memakan buruannya” (H.R. Bukhari dan Muslim)

KANDUNGAN HADITS

Islam adalah agama mulia yang mengajarkan kepada para pemeluknya agar selalu berbuat baik kepada sesama umat manusia bahkan kepada segala sesuatu, termasuk kepada binatang. Karena dengan berbuat baik dan mengasihi sesama makhluk hidup, maka akan dapat menghantarkan pelakunya ke surga Allah SWT.

Dalam hadits ini Rasulullah SAW menceritakan kisah seorang wanita yang menyiksa seekor kucing dengan beberapa kejahatan yang dilakukannya. Wanita tidak saja mengurungnya, namun dia juga tidak memberi makan dan minum kucing kepada kucing tersebut, bahkan dia juga tidak melepaskannya hingga kucing tersebut bisa mencari makanannya sendiri. Sehingga, karena perbuatannya yang buruk ini menyebabkan wanita tersebut kelak akan masuk kedalam neraka.

Hadits ini memberikan peringatan keras kepada siapa pun agar memperlakukan makhluk hidup termasuk seekor kucing dengan perlakuan yang baik, atau manusia harus berperi’kehewanan’ kepada binatang yang juga sama-sama makhluk hidup ciptaan Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda :

"إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شفَرْتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ".

“Sesungguhnya Allah mewajibkan (kamu) untuk berbuat baik atas segala sesuatu, apabila kamu hendak membunuh, maka lakukan pembunuhan itu dengan baik dan apabila kamu hendak menyembelih, maka lakukan penyembelihan itu dengan baik. Dan hendaknya salah seorang diantara kalian menajamkan alat pemotongnya dan menjadikan sembelihanya itu merasa nyaman”. (H.R. Muslim)

Demikian Rasulullah SAW memberikan suatu pesan bahwa Allah SWT mewajibkan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu hinga kepada binatang yang akan disembelih pun, kita diperintahkan untuk melakukanya dengan cara-cara yang baik.

Nyawa manusia lebih berharga

Dalam hadits ini juga ada isyarat dari Rasulullah SAW untuk memperlakukan binatang dengan baik dan tidak boleh menyiksanya, karena barang siapa menyakiti atau menyiksa seekor binatang tanpa sebab tertentu yang dibenarkan apalagi sampai membunuhnya, maka Allah SWT pasti akan memberikan balasan yang setimpal di akhirat kelak. Kalau pun binatang tersebut di duga kuat sangat membahayakan, maka ia boleh dibunuh tanpa harus menyiksanya. Karena memang demikian pesan Rasulullah SAW agar kita dapat memperlakukan segala sesuatu dengan baik. Di sinilah salah satu letak mulianya agama Islam, kepada binatang saja kita diwajibkan untuk berlaku baik, dan kalau pun harus membunuhnya, itu dilakukan dengan cara yang baik pula. Apalagi makhluk hidup itu bernama manusia, demikian banyak, orang dengan mudahnya ‘menghilangkan’ nyawa dengan cara yang tidak dibenarkan. Padahal di dunia hukumannya amat berat dan di akhirat tentunya lebih berat lagi.

Islam sebagai agama mulia, bukan saja mengajarkan kepada pemeluknya agar menjaga ‘hilangnya’ nyawa manusia, tetapi dia juga mengajarkan agar menjaga nyawa seekor binantang. Dengan demikian kita akan dapat berlaku baik kepada manusia atau kepada binatang.

Anjing Pun Menjadi Penyebab Masuk Surga

Ada beberapa riwayat yang menceritan kisah penyebab akan masuknya seseorang ke dalam surga kelak, diantara adalah ketika seorang laki-laki yang dalam perjalanannya merasakan dahaga, kemudian dia pun minum dari sebuah sumur, namun ketika dia selesai meminum dari air tersebut, dia pun melihat seekor anjing yang menjulurkan lidahnya ke tanah karena kehausan, lalu laki-laki tersebut pun kembali mengambil air dari di sumur itu kemudian diberikan ke anjing yang sedang kehausan.

karena dia telah menolong anjing tersebut yang sedang kehausan dengan memberikannya minum. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa seorang wanita pezina Kita juga ingat bagaimana seorang anak manusia masuk sorga disebabkan dia memberi minum seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya karena kehausan.

Khurafat kucing

Banyak pemahaman khurafat atau kisah-kisah bohong yang sama sekali tidak ada dasarnya yang selama ini diyakini oleh kebanyak orang bahwa apabila menabrak kucing akan menimbulkan malapetaka yang akan menimpa orang yang menarbaknya. Jelas ini tidak benar dan tidak mendasar, kalau pun itu terjadi maka lakukan penguburan dengan baik.

Demikian semoga kita bisa menyayangi makhluk hidup yang ada disekitar kita. Wallahu a’lam.

Sumber: Taufik Hamim