Komunitas Peduli

Komunitas Peduli

Selasa, 16 Juni 2009

Kisah Seguci Emas & Kisah Sebutir Apel

Sebuah kisah yang terjadi di masa lampau, sebelum Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan. Kisah yang menggambarkan kepada kita pengertian amanah, kezuhudan, dan kejujuran serta wara’ yang sudah sangat langka ditemukan dalam kehidupan manusia di abad ini.

Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَقَارًا لَهُ فَوَجَدَ الرَّجُلُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ فِي عَقَارِهِ جَرَّةً فِيهَا ذَهَبٌ فَقَالَ لَهُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ: خُذْ ذَهَبَكَ مِنِّي إِنَّمَا اشْتَرَيْتُ مِنْكَ الْأَرْضَ وَلَمْ أَبْتَعْ مِنْكَ الذَّهَبَ. وَقَالَ الَّذِي لَهُ الْأَرْضُ: إِنَّمَا بِعْتُكَ الْأَرْضَ وَمَا فِيهَا. فَتَحَاكَمَا إِلَى رَجُلٍ فَقَالَ الَّذِي تَحَاكَمَا إِلَيْهِ: أَلَكُمَا وَلَدٌ؟ قَالَ أَحَدُهُمَا: لِي غُلَامٌ. وَقَالَ الآخَرُ: لِي جَارِيَةٌ. قَالَ: أَنْكِحُوا الْغُلَامَ الْجَارِيَةَ وَأَنْفِقُوا عَلَى أَنْفُسِهِمَا مِنْهُ وَتَصَدَّقَا

Ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari seseorang. Ternyata di dalam tanahnya itu terdapat seguci emas. Lalu berkatalah orang yang membeli tanah itu kepadanya: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”

Si pemilik tanah berkata kepadanya: “Bahwasanya saya menjual tanah kepadamu berikut isinya.”

Akhirnya, keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu: “Apakah kamu berdua mempunyai anak?”

Salah satu dari mereka berkata: “Saya punya seorang anak laki-laki.”

Yang lain berkata: “Saya punya seorang anak perempuan.”

Kata sang hakim: “Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua.”

Sungguh, betapa indah apa yang dikisahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Di zaman yang kehidupan serba dinilai dengan materi dan keduniaan. Bahkan hubungan persaudaraan pun dibina di atas kebendaan, Wallahul musta’an.

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan, transaksi yang mereka lakukan berkaitan sebidang tanah. Si penjual merasa yakin bahwa isi tanah itu sudah termasuk dalam transaksi mereka. Sementara si pembeli berkeyakinan sebaliknya; isinya tidak termasuk dalam akad jual beli tersebut.

Kedua lelaki ini tetap bertahan, lebih memilih sikap wara’, tidak mau mengambil dan membelanjakan harta itu, karena adanya kesamaran, apakah halal baginya ataukah haram?

Mereka juga tidak saling berlomba mendapatkan harta itu, bahkan menghindarinya. Simaklah apa yang dikatakan si pembeli tanah: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”

Barangkali kalau kita yang mengalami, masing-masing akan berusaha cari pembenaran, bukti untuk menunjukkan dirinya lebih berhak terhadap emas tersebut. Tetapi bukan itu yang ingin kita sampaikan melalui kisah ini.

Hadits ini menerangkan ketinggian sikap amanah mereka dan tidak adanya keinginan mereka mengaku-aku sesuatu yang bukan haknya. Juga sikap jujur serta wara’ mereka terhadap dunia, tidak berambisi untuk mengangkangi hak yang belum jelas siapa pemiliknya. Kemudian muamalah mereka yang baik, bukan hanya akhirnya menimbulkan kasih sayang sesama mereka, tetapi menumbuhkan ikatan baru berupa perbesanan, dengan disatukannya mereka melalui perkawinan putra putri mereka. Bahkan, harta tersebut tidak pula keluar dari keluarga besar mereka. Allahu Akbar.

Bandingkan dengan keadaan sebagian kita di zaman ini, sampai terucap dari mereka: “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal?” Subhanallah.

Kemudian, mari perhatikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma:

وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar) berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram.”

Sementara kebanyakan kita, menganggap ringan perkara syubhat ini. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, bahwa siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar itu, bisa jadi dia jatuh ke dalam perkara yang haram. Orang yang jatuh dalam hal-hal yang meragukan, berani dan tidak memedulikannya, hampir-hampir dia mendekati dan berani pula terhadap perkara yang diharamkan lalu jatuh ke dalamnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan pula dalam sabdanya yang lain:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ

“Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang tidak meragukanmu.”

Yakni tinggalkanlah apa yang engkau ragu tentangnya, kepada sesuatu yang meyakinkanmu dan kamu tahu bahwa itu tidak mengandung kesamaran.

Sedangkan harta yang haram hanya akan menghilangkan berkah, mengundang kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghalangi terkabulnya doa dan membawa seseorang menuju neraka jahannam.

Tidak, ini bukan dongeng pengantar tidur.

Inilah kisah nyata yang diceritakan oleh Ash-Shadiqul Mashduq (yang benar lagi dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Kedua lelaki itu menjauh dari harta tersebut sampai akhirnya mereka datang kepada seseorang untuk menjadi hakim yang memutuskan perkara mereka berdua. Menurut sebagian ulama, zhahirnya lelaki itu bukanlah hakim, tapi mereka berdua memintanya memutuskan persoalan di antara mereka.

Dengan keshalihan kedua lelaki tersebut, keduanya lalu pergi menemui seorang yang berilmu di antara ulama mereka agar memutuskan perkara yang sedang mereka hadapi. Adapun argumentasi si penjual, bahwa dia menjual tanah dan apa yang ada di dalamnya, sehingga emas itu bukan miliknya. Sementara si pembeli beralasan, bahwa dia hanya membeli tanah, bukan emas.

Akan tetapi, rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat mereka berdua merasa tidak butuh kepada harta yang meragukan tersebut.

Kemudian, datanglah keputusan yang membuat lega semua pihak, yaitu pernikahan anak laki-laki salah seorang dari mereka dengan anak perempuan pihak lainnya, memberi belanja keluarga baru itu dengan harta temuan tersebut, sehingga menguatkan persaudaraan imaniah di antara dua keluarga yang shalih ini.

Perhatikan pula kejujuran dan sikap wara’ sang hakim. Dia putuskan persoalan keduanya tanpa merugikan pihak yang lain dan tidak mengambil keuntungan apapun. Seandainya hakimnya tidak jujur atau tamak, tentu akan mengupayakan keputusan yang menyebabkan harta itu lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangannya.

Pelajaran yang kita ambil dari kisah ini adalah sekelumit tentang sikap amanah dan kejujuran serta wara’ yang sudah langka di zaman kita.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Syarah Riyadhis Shalihin mengatakan:
Adapun hukum masalah ini, maka para ulama berpendapat apabila seseorang menjual tanahnya kepada orang lain, lalu si pembeli menemukan sesuatu yang terpendam dalam tanah tersebut, baik emas atau yang lainnya, maka harta terpendam itu tidak menjadi milik pembeli dengan kepemilikannya terhadap tanah yang dibelinya, tapi milik si penjual. Kalau si penjual membelinya dari yang lain pula, maka harta itu milik orang pertama. Karena harta yang terpendam itu bukan bagian dari tanah tersebut.

Berbeda dengan barang tambang atau galian. Misalnya dia membeli tanah, lalu di dalamnya terdapat barang tambang atau galian, seperti emas, perak, atau besi (tembaga, timah dan sebagainya). Maka benda-benda ini, mengikuti tanah tersebut.

Kisah lain, yang mirip dengan ini, terjadi di umat ini. Kisah ini sangat masyhur, wallahu a’lam.
Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in. Di sebuah jalan, di salah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda. Tiba-tiba dia melihat sebutir apel jatuh dari tangkainya, keluar dari sebidang kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut apel yang nampak segar itu. Dengan tenang, dia memakannya.

Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian ditelannya, tersentaklah dia. Apel itu bukan miliknya! Bagaimana mungkin dia memakan sesuatu yang bukan miliknya?
Akhirnya pemuda itu menahan separuh sisa apel itu dan pergi mencari penjaga kebun tersebut. Setelah bertemu, dia berkata: “Wahai hamba Allah, saya sudah menghabiskan separuh apel ini. Apakah engkau mau memaafkan saya?”

Penjaga itu menjawab: “Bagaimana saya bisa memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya. Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun apel ini.”

“Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit.

“Rumahnya jauh sekitar lima mil dari sini,” kata si penjaga.

Maka berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun untuk meminta kerelaannya karena dia telah memakan apel milik tuan kebun tersebut.

Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan ketakutan: “Wahai hamba Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke sini?”

“Tidak,” kata pemilik kebun.

“Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh apel milik anda yang saya temukan dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”

“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau menerima syaratku,” katanya.

Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”

Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi putriku.”

Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri anda? Ini anugerah yang besar.”

Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya maafkan.”

Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.”

Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu, saya katakan bahwa putriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu berdiri.”

Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh apel yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?

“Kalau kau mau, datanglah sesudah ‘Isya agar bisa kau temui istrimu,” kata pemilik kebun tersebut.

Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar istrinya dan memberi salam.

Sekali lagi pemuda itu kaget luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat tangannya. Pemuda itu masih heran kebingungan, kata mertuanya, putrinya adalah gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa gerangan dia?

Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan begitu rupa tentang putrinya.

Istrinya itu balik bertanya: “Apa yang dikatakan ayahku?”

Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”

“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.

“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala murka.”

“Dia katakan kamu tuli.”

“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

“Dia katakan kamu lumpuh.”


“Ya. Karena saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke tempat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”


Pemuda itu memandangi wajah istrinya, yang bagaikan purnama. Tak lama dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih, yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah rahimahullahu.


Duhai, sekiranya pemuda muslimin saat ini meniru pemuda Tsabit, ayahanda Al-Imam Abu Hanifah. Duhai, sekiranya para pemudinya seperti sang ibu, dalam ‘kebutaannya, kebisuan, ketulian, dan kelumpuhannya’.


Demikianlah cara pandang orang-orang shalih terhadap dunia ini. Adakah yang mengambil pelajaran?

Wallahul Muwaffiq.

Sumber: Asy Syariah

Senin, 15 Juni 2009

Harun Ar-Rasyid, Amir di Era Keemasan Islam.


Era keemasan Islam (The Golden Ages of Islam) tertoreh pada masa ke pemimpinannya. Perhatiannya yang begitu besar terhadap kesejahteraan rakyat serta kesuksesannya mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi, ekonomi, perdagangan, politik, wilayah kekuasaan, serta peradaban Islam telah membuat Dinasti Abbasiyah menjadi salah satu negara adikuasa dunia di abad ke-8 M.

Amir para khalifah Abbasiyah itu bernama Harun Ar-Rasyid. Dia adalah raja agung pada zamannya. Konon, kehebatannya hanya dapat dibandingkan dengan Karel Agung (742 M - 814 M) di Eropa. Pada masa kekuasaannya, Baghdad ibu kota Abbasiyah - menjelma menjadi metropolitan dunia. Jasanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban hingga abad ke-21 masih dirasakan dan dinikmati masyarakat dunia.

Figur Harun Ar-Rasyid yang legendaris ini terlahir pada 17 Maret 763 M di Rayy, Teheran, Iran. Dia adalah putera dari Khalifah Al-Mahdi bin Abu Ja’far Al-Mansur khalifah Abbasiyah ketiga. Ibunya bernama Khaizuran seorang wanita sahaya dari Yaman yang dimerdekakan dan dinikahi Al-Mahdi. Sang ibu sangat berpengaruh dan berperan besar dalam kepemimpinan Al-Mahdi dan Harun Ar-Rasyid.

Sejak belia, Harun Ar-Rasyid ditempa dengan pendidikan agama Islam dan pemerintahan di lingkungan istana. Salah satu gurunya yang paling populer adalah Yahya bin Khalid. Berbekal pendidikan yang memadai, Harun pun tumbuh menjadi seorang terpelajar. Harun Ar-Rasyid memang dikenal sebagai pria yang berotak encer, berkepribadian kuat, dan fasih dalam berbicara.

Ketika tumbuh menjadi seorang remaja, Harun Ar-Rasyid sudah mulai diterjunkan ayahnya dalam urusan pemerintahan. Kepemimpinan Harun ditempa sang ayah ketika dipercaya memimpin ekspedisi militer untuk menaklukk Bizantium sebanyak dua kali. Ekspedisi militer pertama dipimpinnya pada 779 M - 780 M. Dalam ekspedisi kedua yang dilakukan pada 781-782 M, Harun memimpin pasukannya hingga ke pantai Bosporus. Dalam usia yang relatif muda, Harun Ar-Rasyid yang dikenal berwibawa sudah mampu menggerakkan 95 ribu pasukan beserta para pejabat tinggi dan jenderal veteran. Dari mereka pula, Harun banyak belajar tentang strategi pertempuran.

Sebelum dinobatkan sebagai khalifah, Harun didaulat ayahnya menjadi gubernur di As-Siafah tahun 779 M dan di Maghrib pada 780 M. Dua tahun setelah menjadi gubernur, sang ayah mengukuhkannya sebagai putera mahkota untuk menjadi khalifah setelah saudaranya, Al-Hadi. Pada 14 Septempber 786 M, Harun Ar-Rasyid akhirnya menduduki tahta tertinggi di Dinasti Abbasiyah sebagai khalifah kelima.

Harun Ar-Rasyid berkuasa selama 23 tahun (786 M - 809 M). Selama dua dasawarsa itu, Harun Al-Rasyid mampu membawa dinasti yang dipimpinnya ke peuncak kejayaan. Ada banyak hal yang patut ditiru para pemimpin Islam di abad ke-21 ini dari sosok raja besar Muslim ini. Sebagai pemimpin, dia menjalin hubungan yang harmonis dengan para ulama, ahli hukum, penulis, qari, dan seniman.

Ia kerap mengundang para tokoh informal dan profesional itu keistana untuk mendiskusikan berbagai masalah. Harun Ar-Rasyid begitu menghagai setiap orang. Itulah salah satu yang membuat masyarakat dari berbagai golongan dan status amat menghormati, mengagumi, dan mencintainya. Harun Ar-Rasyid adalah pemimpin yang mengakar dan dekat dengan rakyatnya. Sebagai seorang pemimpin dan Muslim yang taat, Harun Ar-Rasyid sangat rajin beribadah. Konon, dia terbiasa menjalankan shalat sunat hingga seratus rakaat setiap harinya. Dua kali dalam setahun, khalifah kerap menunaikan ibadah haji dan umrah dengan berjalan kaki dari Baghdad ke Makkah. Ia tak pernah lupa mengajak para ulama ketika menunaikan rukun Islam kelima.

Jika sang khalifah tak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji, maka dihajikannya sebanyak tiga ratus orang di Baghdad dengan biaya penuh dari istana. Masyarakat Baghdad merasakan dan menikmati suasana aman dan damai di masa pemerintahannya. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harus Ar-Rasyid tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam hidupnya. Tanpa ragu-ragu Harun Ar- Rasyid memecat dan memenjarakan Yahya bin Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir).

Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,87 juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya. Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya. Konon, Harun Ar-Rasyid adalah khalifah yang berprawakan tinggi, bekulit putih, dan tampan. Di masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah kekuasaan yang terbentang luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah Barat hingga ke India di sebelah Timur. Meski begitu, tak mudah bagi Harun Ar-Rasyid untuk menjaga keutuhan wilayah yang dikuasainya.

Berbagai pemberontakan pun tercatat sempat terjadi di era kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat terjadi di masa kekuasaannya antara lain; pemberontakan Khawarij yang dipimpin Walid bin Tahrif (794 M); pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M); serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin Abi Taglib (792 M). Salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda adalah perhatiannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Di masa kepemimpinannya terjadi penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa.

Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan perabadan. Pada era itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah - perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu keagamaan. Sang khalifah tutup usia pada 24 Maret 809 M pada usia yang terbilang muda 46 tahun. Meski begitu pamor dan popularitasnya masih tetap melegenda hingga kini. Namanya juga diabadikan sebagai salah satu tokoh dalam kitab 1001 malam yang amat populer. Pemimpin yang baik akan tetap dikenang sepanjang masa.

Pemimpin yang Prorakyat

Di era modern ini begitu sulit menemukan pemimpin yang benar-benar mencintai dan berpihak kepada rakyatnya. Sosok pemimpin yang mencintai rakyat pastilah akan dicintai dan dikagumi rakyatnya. Salah seorang pemimpin Muslim yang terbilang langka itu hadir di abad ke-8 M. Pemimpin yang pro rakyat itu bernama Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Sang khalifah benar-benar memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan negara, Harun Ar-Rasyid berupaya dengan keras memajukan perekonomian serta perdagangan. Pertanian juga berkembang dengan begitu pesat, lantaran khalifah begitu mena ruh perhatian yang besar dengan membangun saluran irigasi. Langkah pemerintahan Harun Ar-Rasyid yang serius ingin menyejahterakan rakyatnya itu mendapat dukungan rakyatnya. Kemajuan dalam sektor perekonomian, perdagangan dan pertanian itu membuat Baghdad menjadi pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia saat itu.

Dengan kepastian hukum serta keamanan yang terjamin, berbondong-bondong para saudagar dari berbagai penjuru dunia bertransaksi melakukan pertukaan barang dan uang di Baghdad. Negara pun memperoleh pemasukan yang begitu besar dari perekonomian dan perdagangan itu serta tentunya dari pungutan pajak. Pemasukan kas negara yang begitu besar itu tak dikorup sang khalifah. Harun Ar-Rasyid menggunakan dana itu untuk pembangunan dan menyejahterakan rakyatnya. Kota Baghdad pun dibangun dengan indah dan megah. Gedunggedung tinggi berdiri, sarana peribadatan tersebar, sarana pendidikan pun menjamur, dan fasilitas kesehatan gratis pun diberikan dengan pelayanan yang prima.

Sarana umum lainnya seperti kamar mandi umum, taman, jalan serta pasar juga dibangun dengan kualitas yang sangat baik. Khalifah pun membiayai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan serta penelitian. Negara menempatkan para ulama dan ilmuwan di posisi yang tinggi dan mulia. Mereka dihargai dengan memperoleh gaji yang sangat ting gi. Setiap tulisan dan penemuan yang dihasilkan ulama dan ilmuwan dibayar mahal oleh negara.

Sangat pantas bila keluarga khalifah dan pejabat negara lainnya hidup dalam segala kemewahan pada zamannya. Sebab, kehidupan rakyatnya juga berada dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Tak seperti pemimpin kebanyakan yang hidup dengan kemewahan di atas penderitaan rakyatnya. Sampai kapan pun, sosok Harun Ar-Rasyid layak ditiru dan dijadikan panutan para pemim - pin dan calon pemimpin yang ingin mencitai dan berpihak pada rakyatnya.

Jejak Hidup Sang Khalifah Agung Tahun 763 M : Pada 17 Maret, Harun terlahir di Rayy.
Tahun 780 M : Memimpin pasukan militer melawan Bizantium.
Tahun 782 M: Kembali memimpin pa - suk an melawan Bizantium hingga ke Bos porus.
Tahun 786 M: 14 September saudaranya Al-Hadi - khalifah keempat meninggal dunia.
Tahun 791 M: Harun kembali berperang melawan Bizantium.
Tahun 795 M: Harun meredam pembenrontakan Syiah dan memenjarakan
Musa Al-Kazim. Tahun 796 M: Harun memindahkan istana dan pusat pemerintahan dari Baghdad ke Ar-Raqqah.
Tahun 800 M: Harun mengangkat Ibrahim ibnu Al-Aghlab sebagai gubernur Tunisia.
Tahun 802 M: Harun menghadiahkan dua gajah albino ke Charlemagne sebagai hadiah diplomatik.
Tahun 803 M: Yahya bin Khalid (perdana menteri yang dipecat karena korupsi meninggal dunia.
Tahun 807 M: Kekuatan Harun mengusai Siprus.
Tahun 809 M: Harun meninggal dunia ketika melakukan perjalanan di bagian timur wilayah kekuasaannya.

Sumber: Suara Media

Minggu, 14 Juni 2009

Tak akan Tegak Peradaban Tanpa Ilmu

Oleh: Hamim Thohari (Sekretaris Dewan Syura Hidayatullah)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) memang lahir dan besar di lingkungan yang ummiy, yaitu kaum yang tidak bisa membaca dan berhitung.

Ini diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) dalam firman-Nya: Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf (ummiy) dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Al-Jumu’ah [62]: 2)

Namun, sebagaimana para Nabi yang diutus sebelumnya, Nabi Muhammad SAW bukan berasal dari golongan badui. Allah SWT sendiri menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), melainkan lelaki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk kota.” (Yusuf [12]: 109)

Kufur dan Nifa

Dalam tafsir Ruhul Ma’ani, Al-Hasan berkata: “Allah tidak mengutus seorang Rasul dari penduduk Badui, dan tidak juga dari kaum wanita dan jin.”

Mengapa? Sebab, tugas para Nabi adalah membangun peradaban. Tugas amat berat ini tidak mungkin dilaksanakan oleh orang yang secara alami berasal dari kaum yang tidak mau belajar dan menolak segala jenis perubahan. Padahal, tugas para Nabi justru melakukan perubahan. Sedang segala jenis perubahan itu berawal dari proses belajar.

Ada dua kendala besar yang menghalangi orang-orang Badui belajar dan melakukan perubahan. Pertama, mereka memiliki sifat kufur. Kedua, mereka memiliki sifat nifaq. Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya:

“Orang-orang Arab Badui itu lebih kuat kekafiran dan kemunafikannya, dan sangat wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah [9]: 97)

Kufur artinya menutup. Orang yang kufur berarti orang yang menutup diri dari segala informasi dan kebenaran yang datang dari luar dirinya atau kelompoknya. Mereka tidak mau belajar, bahkan menolak untuk mempelajari ilmu.

Tingkatan sedikit di bawah kufur adalah fanatis. Orang yang fanatis hanya menerima kebenaran dari golongannya sendiri. Mereka tidak bersifat kritis terhadap segala hal yang datang dari kelompoknya.

Adapun nifaq berarti menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.

Allah SWT menggambarkan orang-orang seperti ini dalam al-Qur`an: Dan apabila dikatakan kepada mereka, ”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, ”(Tidak!) Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami. Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah [2]: 170)

Orang-orang Badui – yang memiliki sifat kufur dan nifaq-- sulit diajak berubah, apalagi diajak membangun peradaban baru yang lebih ideal dan lebih menjanjikan. Mereka lebih memilih hidup “serba kekurangan” daripada hidup lebih baik tapi mengandung risiko gagal.

Anjuran Belajar

Adapun kaum ummiy, di mana Rasulullah SAW lahir dan dibesarkan, berbeda dengan Badui. Mereka belum bisa membaca dan berhitung semata-mata karena tinggal di wilayah yang jauh dari peradaban saat itu.

Mereka bodoh semata-mata karena ketidaktahuannya. Terbukti, setelah mereka memperoleh kesempatan belajar, mereka sungguh-sungguh. Maka, dalam waktu relatif singkat mereka mampu membaca, menulis, berhitung, dan menguasai berbagai disiplin ilmu, termasuk teknologi.

Rasulullah SAW, ketika menyadari sebagian besar pengikutnya masih buta huruf, langsung memerintahkan para sahabat yang bisa baca-tulis untuk mengajari sahabat lain yang belum bisa.

Bahkan, beliau memberi tawaran menarik kepada para tawanan perang yang mau menjadi guru privat (untuk mengajari baca tulis) kepada kaum muslimin, juga anak-anak yang masih buta huruf. Imbalan mereka adalah pembebasan dari status tawanan.

Inilah revolusi besar yang dilalukan Rasulullah SAW dalam membangun peradaban. Beliau sepenuhnya menjalankan skenario Allah SWT dengan menjadikan perintah membaca (iqra) sebagai dasar utama membangun peradaban.

Hanya dengan cara membaca (belajar menguasai ilmu) mereka dapat melakukan perubahan. Perubahan dari pemahaman semu dan dangkal kepada pemahaman yang luas dan mendalam. Dari pemikiran mistik yang penuh takhayyul dan khurafat kepada pemikiran sehat dan rasional yang lebih mengedepankan bukti.

Dari pemikiran taqlid buta dan fanatis, kepada pemikiran yang bebas, independen, dan toleran. Dari pemikiran yang angkuh dan sombong kepada pemikiran yang tawadhu dan menghargai perbedaan.

Manusia Terhormat

Sebelum manusia diperintahkan untuk menuntut ilmu (belajar), Allah SWT sesungguhnya telah membekali manusia sebuah potensi belajar secara alamiah. Potensi tersebut berupa keingin tahuan mengenali segala sesuatu.

Hasrat untuk mengetahui dan mengenali segala sesuatu yang belum diketahui melahirkan budaya riset, baik yang bersifat coba-coba maupun yang bersifat ilmiah. Hasrat inilah yang kelak melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi soko guru semua peradaban.

Tak satu pun peradaban manusia bisa tegak kecuali di dalamnya terdapat ilmu. Itulah sebabnya Islam memberi penghormatan yang tinggi kepada para ilmuwan dan orang-orang yang sedang menuntut ilmu. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang keluar rumah untuk belajar satu bab dari ilmu pengetahuan, maka ia tercatat sebagai mujahid (pejuang) fi sabilillah sampai ia kembali ke rumahnya.” (Riwayat Tirmidzi)

Tak tanggung-tanggung, Allah SWT juga mengangkat derajat mereka yang beriman dan berpengetahuan beberapa level di atas manusia rata-rata, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur`an: … niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (Al-Mujadilah [58]: 11)

Para ilmuwan adalah orang-orang yang mampu memberdayakan kemampuan nalar (reasoning power) dalam dirinya. Mereka tidak pernah berhenti bertanya dan berpikir mengenai segala kejadian.

Pada tahun 976 M, seorang ilmuwan besar telah memeras otaknya untuk menemukan cara praktis menuliskan bilangan dalam jumlah besar, sementara saat itu bilangan yang ada cuma angka Romawi. Ilmuwan itu adalah Muhammad bin Ahmad. Dialah yang menemukan angka 0 (nol) dalam bilangan angka Arab. Dengan penemuan itu, kita tidak akan menemukan kesulitan bila ingin menulis bilangan sebesar apapun.

Coba bayangkan bagaimana sulitnya ketika angka nol itu belum ditemukan. Sekadar simulasi, coba Anda tuliskan angka sepuluh dengan angka Romawi (X), lalu angka dua puluh (XX), kemudian seratus, lalu seribu.

Kini tuliskan angka sejuta tetap dengan menggunakan angka Rumawi, lalu satu miliar, lima milyar, satu triliun, dan dua puluh lima biliun. Betapa sulitnya!

Penemuan besar ini terus dikembangkan ilmuwan-ilmuwan Muslim berikutnya. Datanglah Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi yang menemukan aljabar, dasar ilmu pasti dan matematika. Dari sinilah berkembang sains dan teknologi yang mengagumkan. Dengan sains dan teknologi itulah akhirnya kita bisa membaca sebagian tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang ada di langit dan di bumi.

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat bukti-bukti bagi orang yang mengetahui. (Ar-Ruum [30]: 22)

Ayat sejenis sangat banyak dijumpai dalam al-Qur`an. Satu di antaranya adalah:

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menentukan tempat-tempat orbitnya agar kamu tahu jumlah tahun dan perhitungan (waktu). Tiada Allah menciptakan ini kecuali dengan sebenarnya. (Demikianlah) Dia menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bagi orang-orang yang mengetahui”. (Yunus [10]: 5)

Jika kita ingin kembali membangun peradaban Islam yang agung di abad ini, jalan satu-satunya adalah kembali ke iqra (bacalah!). Gairahkan kembali semangat dan budaya belajar, lahirkan cendikiawan sebanyak-banyaknya, hargai para ilmuwan, terutama ulama dan fuqaha, dan tunggu hasilnya. Insya Allah, Islam kembali jaya!

Sumber: Hidayatullah

Mendirikan BISNIS SOSIAL Untuk MENGENTASKAN KEMISKINAN, Siapa Berminat?

Bisnis Sosial merupakan cara jitu untuk mengentaskan kemiskinan. Silakan baca tulisan tulisan-tentang Bisnis Sosial di: http://bisnissosial.blogdetik.com/

Kesempatan kali ini kita akan mendiskusikan bagaimana tahap-tahap mendirikan Bisnis Sosial, sebagai berikut:

1. Membentuk Tim
Sebagaimana cara pendirian entitas bisnis pada umumnya, diperlukan orang-orang yang mengurus segala sesuatunya, sejak perencanaan, implementasi, evaluasi, pengembangan, sampai pemanfaatan hasil usaha Bisnis Sosial kepada orang-orang miskin. Untuk itu perlu dibentuk TIM yang menggerakkan roda Bisnis Sosial. Tim ini lah yang sangat menentukan keberhasilan Bisnis Sosial yang didirikan.

2. Membuat Badan Hukum
Bisnis sosial dapat dijalankan oleh perorangan maupun badan hukum. Namun sebuah perusahaan yang berbadan hukum biasanya akan lebih dipercaya pada saat berinteraksi dengan pihak ekstenal dari pada perusahaan perorangan. Oleh karena itu, sebuah entitas Bisnis Sosial lebih baik berbadan hukum baik berupa Yayasan, PT ataupun CV.

3. Menetapkan Bidang Bisnis
Memilih dan menetapkan bidang bisnis merupakan tahap yang sangat penting. Idealnya bidang bisnis yang dipilih memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Bidang bisnis yang pasti untung atau yang kemungkinannya untuk untung tinggi.
- Bidang bisnis yang dapat menyerap banyak tenaga kerja.
- Bidang bisnis yang produk atau jasa nya banyak dibutuhkan oleh masyarakat.
- Bidang bisnis yang mempunyai potensi untuk dikembangkan secara luas dan besar.

4. Mencari Sumber pendanaan
Mendirikan Bisnis Sosial akan jauh lebih mudah kalau memiliki sumber pendanaan. Adapun sumber-sumber permodalan Bisnis Sosial dapat berasal dari:
- Sumbangan pribadi
- Sumbangan Badan Usaha lain
- Badan Amal Zakat (BAZ)
- Dana CSR (Corporate Social Responsibility) BUMN dan Perusahaan Besar Lainnya.
- Penyertaan dari Yayasan/Foundation lain
- Bantuan Pemerintah
- Bantuan Lembaga Internasional
Bisnis Sosial bisa saja didirikan tanpa modal asal banyak orang (ada komunitas) yang mau berpartisipasi walaupun partisipasinya bukan dalam bentuk modal.

5. Menjalankan Aktivitas Bisnis Sosial
Inilah langkah inti dari sebuah entitas bisnis. Langkah ini menentukan hidup matinya atau besar kecilnya atau sukses tidaknya sebuah bisnis. Sebaik apapun rencana bisnis disusun biasanya ada saja deviasinya di lapangan. Oleh karena itu untuk meningkatkan tingkat keberhasilan Bisnis Sosial, sebaiknya mengikuti sistem yang sudah teruji dan terbukti berhasil dari suatu perusahaan PMB (Profit Making Bisnis).

6. Pemanfaatan hasil usaha
Pemanfaatan hasil usaha Bisnis Sosial adalah salah satu tujuan akhir dari pendirian Bisnis Sosial. Pemanfaatan hasil usaha Bisnis Sosial tidak boleh menyimpang dari tujuan awalnya, yaitu untuk memberikan manfaat sosial dan finansial khususnya bagi orang-orang miskin.

7. Audit External
Audit External diperlukan untuk menilai kesehatan perusahaan Bisnis Sosial, mengontrol pemanfaatan hasil usaha Bisnis Sosial, dan meningkatkan trust/ kepercayaan masyarakat serta pihak lainya terhadap entitas Bisnis Sosial. Tinggi rendahnya tingkat kepercayaan akan mempengaruhi besar kecilnya dukungan terhadap Bisnis Sosial yang bertalian.

Salah satu contoh entitas Bisnis Sosial yang dapat dijadikan referensi adalah Bank Grameen yang didirikan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh. Contoh entitas Bisnis Sosial di Indonesia, saya belum mengetahuinya (kalau ada rekan yang mengetahuinnya, mohon dapat disharing sebagai bahan referensi). Namun sekedar untuk gambaran, ada sebuah bisnis home industri/ pabrik kecil yang sarat dengan muatan sosial. Sejak awan pendiriannya, bisnis ini diniatkan untuk memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat miskin disekitarnya. Adapun misinya sangat sederhana yaitu:

  1. Menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, baik sebagai karyawan maupun sebagai reseller (sales dan agen).
  2. Memberikan manfaat ekonomi berupa gaji dan insentif untuk karyawan, serta komisi penjualan bagi para sales dan agen.
  3. Mengalokasikan laba yang diperoleh untuk membantu biaya pendidikan anak-anak dari keluarga miskin dan kemanfaatan sosial lainnya.


Bisnis ini didirikan bukan oleh orang-orang kaya, tetapi oleh orang-orang biasa yang mempunyai kepedulian sosial. Oleh karena itu, walaupun bisnis ini sangat kental dengan misi sosial, masih ada harapan dari para pendirinya untuk memperoleh manfaat finansial. Meskipun bisnis ini belum memenuhi status Bisnis Sosial Murni, akan tetapi sudah layak menyandang status Bisnis Sosial Hibrida atau Kewirausahaan Sosial.

Dibawah ini adalah gambar foto produk yang dihasilkan oleh home industri tersebut berupa deterjen bubuk botol dan sachet, sabun cair serba guna (cuci piring), dan softener (pelembut dan pewangi pakaian):

Foto-Sabun-3

Kita dapat berpartisipasi Dalam Bisnis Sosial dengan salah satu cara sebagai berikut:
- Menjadi investor Bisnis Sosial kalau memungkinkan
- Menjadi reseller produk atau jasa yang dihasilkan oleh Bisnis Sosial
- Menjadi pengguna produk atau jasa yang dihasilkan oleh Bisnis Sosial
- Turut mempromosikan produk atau jasa yang dihasilkan oleh Bisnis Sosial, baik melalui pemasangan backlink maupun melalui word of mouth (promosi mulut ke mulut)
- Memberikan dukungan motivasi dan do’a untuk keberhasilan Bisnis Sosial.

Dibutuhkan banyak sekali pelaku-pelaku Bisnis Sosial untuk mengentaskan kemiskinan di negara kita. Anda berminat berpartisipasi mengentaskan kemiskinan melalui pendirian Bisnis Sosial? Apabila anda berminat, silakan tinggalkan komentar anda di blog ini. Apa pun komentar anda pasti bermanfaat. Mudah-mudahan partisipasi kita dalam Bisnis Sosial menjadi amal kita untuk bekal di alam baka kelak, Amin.

Sumber: Bisnis Sosial

Seekor Kucing dan Malapetaka

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : "عُذِّبَتِ امْرَأَةٌفِيْ هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيْهَا النَّارُ، لاَ هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلاَ سَقَتْهَا إِذْ هِيَ حَبَسَتْهَ، وَلاَ هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ اْلأَرْضِ

Abdullah bin Umar r.a meriwayatkan bahwa Rasullah SAW bersabda : “Seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang dipenjara (dikurung) nya hingga kucing tersebut mati dan wanita itu pun masuk neraka, wanita tersebut tidak memberinya makan dan minum saat dia memenjarakan (mengurung)-nya dan tidak membiarkannya untuk memakan buruannya” (H.R. Bukhari dan Muslim)

KANDUNGAN HADITS

Islam adalah agama mulia yang mengajarkan kepada para pemeluknya agar selalu berbuat baik kepada sesama umat manusia bahkan kepada segala sesuatu, termasuk kepada binatang. Karena dengan berbuat baik dan mengasihi sesama makhluk hidup, maka akan dapat menghantarkan pelakunya ke surga Allah SWT.

Dalam hadits ini Rasulullah SAW menceritakan kisah seorang wanita yang menyiksa seekor kucing dengan beberapa kejahatan yang dilakukannya. Wanita tidak saja mengurungnya, namun dia juga tidak memberi makan dan minum kucing kepada kucing tersebut, bahkan dia juga tidak melepaskannya hingga kucing tersebut bisa mencari makanannya sendiri. Sehingga, karena perbuatannya yang buruk ini menyebabkan wanita tersebut kelak akan masuk kedalam neraka.

Hadits ini memberikan peringatan keras kepada siapa pun agar memperlakukan makhluk hidup termasuk seekor kucing dengan perlakuan yang baik, atau manusia harus berperi’kehewanan’ kepada binatang yang juga sama-sama makhluk hidup ciptaan Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda :

"إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شفَرْتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ".

“Sesungguhnya Allah mewajibkan (kamu) untuk berbuat baik atas segala sesuatu, apabila kamu hendak membunuh, maka lakukan pembunuhan itu dengan baik dan apabila kamu hendak menyembelih, maka lakukan penyembelihan itu dengan baik. Dan hendaknya salah seorang diantara kalian menajamkan alat pemotongnya dan menjadikan sembelihanya itu merasa nyaman”. (H.R. Muslim)

Demikian Rasulullah SAW memberikan suatu pesan bahwa Allah SWT mewajibkan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu hinga kepada binatang yang akan disembelih pun, kita diperintahkan untuk melakukanya dengan cara-cara yang baik.

Nyawa manusia lebih berharga

Dalam hadits ini juga ada isyarat dari Rasulullah SAW untuk memperlakukan binatang dengan baik dan tidak boleh menyiksanya, karena barang siapa menyakiti atau menyiksa seekor binatang tanpa sebab tertentu yang dibenarkan apalagi sampai membunuhnya, maka Allah SWT pasti akan memberikan balasan yang setimpal di akhirat kelak. Kalau pun binatang tersebut di duga kuat sangat membahayakan, maka ia boleh dibunuh tanpa harus menyiksanya. Karena memang demikian pesan Rasulullah SAW agar kita dapat memperlakukan segala sesuatu dengan baik. Di sinilah salah satu letak mulianya agama Islam, kepada binatang saja kita diwajibkan untuk berlaku baik, dan kalau pun harus membunuhnya, itu dilakukan dengan cara yang baik pula. Apalagi makhluk hidup itu bernama manusia, demikian banyak, orang dengan mudahnya ‘menghilangkan’ nyawa dengan cara yang tidak dibenarkan. Padahal di dunia hukumannya amat berat dan di akhirat tentunya lebih berat lagi.

Islam sebagai agama mulia, bukan saja mengajarkan kepada pemeluknya agar menjaga ‘hilangnya’ nyawa manusia, tetapi dia juga mengajarkan agar menjaga nyawa seekor binantang. Dengan demikian kita akan dapat berlaku baik kepada manusia atau kepada binatang.

Anjing Pun Menjadi Penyebab Masuk Surga

Ada beberapa riwayat yang menceritan kisah penyebab akan masuknya seseorang ke dalam surga kelak, diantara adalah ketika seorang laki-laki yang dalam perjalanannya merasakan dahaga, kemudian dia pun minum dari sebuah sumur, namun ketika dia selesai meminum dari air tersebut, dia pun melihat seekor anjing yang menjulurkan lidahnya ke tanah karena kehausan, lalu laki-laki tersebut pun kembali mengambil air dari di sumur itu kemudian diberikan ke anjing yang sedang kehausan.

karena dia telah menolong anjing tersebut yang sedang kehausan dengan memberikannya minum. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa seorang wanita pezina Kita juga ingat bagaimana seorang anak manusia masuk sorga disebabkan dia memberi minum seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya karena kehausan.

Khurafat kucing

Banyak pemahaman khurafat atau kisah-kisah bohong yang sama sekali tidak ada dasarnya yang selama ini diyakini oleh kebanyak orang bahwa apabila menabrak kucing akan menimbulkan malapetaka yang akan menimpa orang yang menarbaknya. Jelas ini tidak benar dan tidak mendasar, kalau pun itu terjadi maka lakukan penguburan dengan baik.

Demikian semoga kita bisa menyayangi makhluk hidup yang ada disekitar kita. Wallahu a’lam.

Sumber: Taufik Hamim

Apa yang Terjadi dengan Neraka, Tuhan?

Bill Gates meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Ia mendapatkan dirinya berada di sebuah Tempat Penentuan Terakhir.

Tuhan berada di sana dan berkata, “Baiklah, Bill, Saya benar2x bingung dengan panggilan ini. Saya tidak begitu yakin, apakah saya harus mengirimkan kamu ke neraka atau ke surga. Karena saya lihat, kamu sudah membantu masyarakat dengan meletakkan komputer di setiap rumah hampir di seluruh dunia dan menciptakan Windows 95 yang sangat menakjubkan itu. Akan saya perbuat sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Khusus untuk kasus ini, saya akan memberikan kebebasan kepadamu untuk memutuskan dimana kamu ingin tinggal.”

Bill menjawab, “Baik, terima kasih Tuhan. Tapi apa bedanya antara surga dan neraka itu?"

Tuhan berkata, “Saya mengijinkan kamu untuk mengunjungi keduanya dahulu supaya kamu lebih mudah mengambil keputusan”.

“Oke. Kalau begitu, saya coba melihat neraka dulu.”

Kemudian Bill pergi ke neraka. Ternyata ia melihat bahwa neraka merupakan tempat yang sangat indah, bersih dengan pantai pasir putihnya disertai air yang bening. Dan terdapat ribuan wanita cantik yang berlarian, berenang, bermain air, tertawa riang gembira. Matahari pun bersinar cerah dengan suasana yang sejuk dan nyaman, sempurna sekali.

Bill tampak sangat senang. “Wow, luar biasa!!! Indah sekali di sana!!”, katanya kepada Tuhan, “Kalau neraka saja seperti itu, saya ingin sekali melihat surga!”

“Baik,” kata Tuhan.

Segera mereka pergi ke surga untuk melihat suasana di sana. Bill melihat surga yang berada di tempat tinggi dengan diliputi awan2x. Berlaksa-laksa malaikat sedang bermain harpa dan bernyanyi. Dia merasa damai melihat suasana di surga tapi dia tidak tampak bergairah seperti ketika melihat neraka. Bill berfikir sejenak, dan akhirnya mengambil keputusan.

“Hmm, saya pikir… saya akan betah tinggal di neraka, Tuhan.” Dia berkata kepada Tuhan.

“Baiklah, kalau begitu,” jawab Tuhan, “sesuai dengan keinginanmu.”

Kemudian Bill Gates pergi dan tinggal di neraka.

Dua minggu kemudian, Tuhan ingin melihat keadaan sang Jutawan, Bill Gates, ini untuk memastikan keadaannya bai-baik saja dan apa yang sedang dilakukannya.

Ketika Tuhan sampai di neraka, Ia menemukan Bill sedang berada di lorong yang gelap dan berteriak di tengah-tengah api yang menyala-nyala. Ia merasa terbakar dan tersiksa.

“Bagaimana keadaanmu, Bill?”, Tuhan bertanya.

Bill menjawab dengan suara yang berat, penuh penderitaan dan tak berpengharapan. “Sangat mengerikan, Tuhan. Ini tidak sama seperti apa yang saya lihat kemarin. Dimana pantai berpasir putih, wanita-wanita cantik yang dulu ada di sini itu?? Apa yang terjadi Tuhan??”

Tuhan berkata, “Oh, Itu kan hanya Screen Saver, Bill!”

Sumber: Gudang Humor