Komunitas Peduli

Komunitas Peduli

Minggu, 14 Juni 2009

Tak akan Tegak Peradaban Tanpa Ilmu

Oleh: Hamim Thohari (Sekretaris Dewan Syura Hidayatullah)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) memang lahir dan besar di lingkungan yang ummiy, yaitu kaum yang tidak bisa membaca dan berhitung.

Ini diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) dalam firman-Nya: Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf (ummiy) dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Al-Jumu’ah [62]: 2)

Namun, sebagaimana para Nabi yang diutus sebelumnya, Nabi Muhammad SAW bukan berasal dari golongan badui. Allah SWT sendiri menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), melainkan lelaki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk kota.” (Yusuf [12]: 109)

Kufur dan Nifa

Dalam tafsir Ruhul Ma’ani, Al-Hasan berkata: “Allah tidak mengutus seorang Rasul dari penduduk Badui, dan tidak juga dari kaum wanita dan jin.”

Mengapa? Sebab, tugas para Nabi adalah membangun peradaban. Tugas amat berat ini tidak mungkin dilaksanakan oleh orang yang secara alami berasal dari kaum yang tidak mau belajar dan menolak segala jenis perubahan. Padahal, tugas para Nabi justru melakukan perubahan. Sedang segala jenis perubahan itu berawal dari proses belajar.

Ada dua kendala besar yang menghalangi orang-orang Badui belajar dan melakukan perubahan. Pertama, mereka memiliki sifat kufur. Kedua, mereka memiliki sifat nifaq. Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya:

“Orang-orang Arab Badui itu lebih kuat kekafiran dan kemunafikannya, dan sangat wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah [9]: 97)

Kufur artinya menutup. Orang yang kufur berarti orang yang menutup diri dari segala informasi dan kebenaran yang datang dari luar dirinya atau kelompoknya. Mereka tidak mau belajar, bahkan menolak untuk mempelajari ilmu.

Tingkatan sedikit di bawah kufur adalah fanatis. Orang yang fanatis hanya menerima kebenaran dari golongannya sendiri. Mereka tidak bersifat kritis terhadap segala hal yang datang dari kelompoknya.

Adapun nifaq berarti menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.

Allah SWT menggambarkan orang-orang seperti ini dalam al-Qur`an: Dan apabila dikatakan kepada mereka, ”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, ”(Tidak!) Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami. Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah [2]: 170)

Orang-orang Badui – yang memiliki sifat kufur dan nifaq-- sulit diajak berubah, apalagi diajak membangun peradaban baru yang lebih ideal dan lebih menjanjikan. Mereka lebih memilih hidup “serba kekurangan” daripada hidup lebih baik tapi mengandung risiko gagal.

Anjuran Belajar

Adapun kaum ummiy, di mana Rasulullah SAW lahir dan dibesarkan, berbeda dengan Badui. Mereka belum bisa membaca dan berhitung semata-mata karena tinggal di wilayah yang jauh dari peradaban saat itu.

Mereka bodoh semata-mata karena ketidaktahuannya. Terbukti, setelah mereka memperoleh kesempatan belajar, mereka sungguh-sungguh. Maka, dalam waktu relatif singkat mereka mampu membaca, menulis, berhitung, dan menguasai berbagai disiplin ilmu, termasuk teknologi.

Rasulullah SAW, ketika menyadari sebagian besar pengikutnya masih buta huruf, langsung memerintahkan para sahabat yang bisa baca-tulis untuk mengajari sahabat lain yang belum bisa.

Bahkan, beliau memberi tawaran menarik kepada para tawanan perang yang mau menjadi guru privat (untuk mengajari baca tulis) kepada kaum muslimin, juga anak-anak yang masih buta huruf. Imbalan mereka adalah pembebasan dari status tawanan.

Inilah revolusi besar yang dilalukan Rasulullah SAW dalam membangun peradaban. Beliau sepenuhnya menjalankan skenario Allah SWT dengan menjadikan perintah membaca (iqra) sebagai dasar utama membangun peradaban.

Hanya dengan cara membaca (belajar menguasai ilmu) mereka dapat melakukan perubahan. Perubahan dari pemahaman semu dan dangkal kepada pemahaman yang luas dan mendalam. Dari pemikiran mistik yang penuh takhayyul dan khurafat kepada pemikiran sehat dan rasional yang lebih mengedepankan bukti.

Dari pemikiran taqlid buta dan fanatis, kepada pemikiran yang bebas, independen, dan toleran. Dari pemikiran yang angkuh dan sombong kepada pemikiran yang tawadhu dan menghargai perbedaan.

Manusia Terhormat

Sebelum manusia diperintahkan untuk menuntut ilmu (belajar), Allah SWT sesungguhnya telah membekali manusia sebuah potensi belajar secara alamiah. Potensi tersebut berupa keingin tahuan mengenali segala sesuatu.

Hasrat untuk mengetahui dan mengenali segala sesuatu yang belum diketahui melahirkan budaya riset, baik yang bersifat coba-coba maupun yang bersifat ilmiah. Hasrat inilah yang kelak melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi soko guru semua peradaban.

Tak satu pun peradaban manusia bisa tegak kecuali di dalamnya terdapat ilmu. Itulah sebabnya Islam memberi penghormatan yang tinggi kepada para ilmuwan dan orang-orang yang sedang menuntut ilmu. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang keluar rumah untuk belajar satu bab dari ilmu pengetahuan, maka ia tercatat sebagai mujahid (pejuang) fi sabilillah sampai ia kembali ke rumahnya.” (Riwayat Tirmidzi)

Tak tanggung-tanggung, Allah SWT juga mengangkat derajat mereka yang beriman dan berpengetahuan beberapa level di atas manusia rata-rata, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur`an: … niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (Al-Mujadilah [58]: 11)

Para ilmuwan adalah orang-orang yang mampu memberdayakan kemampuan nalar (reasoning power) dalam dirinya. Mereka tidak pernah berhenti bertanya dan berpikir mengenai segala kejadian.

Pada tahun 976 M, seorang ilmuwan besar telah memeras otaknya untuk menemukan cara praktis menuliskan bilangan dalam jumlah besar, sementara saat itu bilangan yang ada cuma angka Romawi. Ilmuwan itu adalah Muhammad bin Ahmad. Dialah yang menemukan angka 0 (nol) dalam bilangan angka Arab. Dengan penemuan itu, kita tidak akan menemukan kesulitan bila ingin menulis bilangan sebesar apapun.

Coba bayangkan bagaimana sulitnya ketika angka nol itu belum ditemukan. Sekadar simulasi, coba Anda tuliskan angka sepuluh dengan angka Romawi (X), lalu angka dua puluh (XX), kemudian seratus, lalu seribu.

Kini tuliskan angka sejuta tetap dengan menggunakan angka Rumawi, lalu satu miliar, lima milyar, satu triliun, dan dua puluh lima biliun. Betapa sulitnya!

Penemuan besar ini terus dikembangkan ilmuwan-ilmuwan Muslim berikutnya. Datanglah Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi yang menemukan aljabar, dasar ilmu pasti dan matematika. Dari sinilah berkembang sains dan teknologi yang mengagumkan. Dengan sains dan teknologi itulah akhirnya kita bisa membaca sebagian tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang ada di langit dan di bumi.

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat bukti-bukti bagi orang yang mengetahui. (Ar-Ruum [30]: 22)

Ayat sejenis sangat banyak dijumpai dalam al-Qur`an. Satu di antaranya adalah:

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menentukan tempat-tempat orbitnya agar kamu tahu jumlah tahun dan perhitungan (waktu). Tiada Allah menciptakan ini kecuali dengan sebenarnya. (Demikianlah) Dia menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bagi orang-orang yang mengetahui”. (Yunus [10]: 5)

Jika kita ingin kembali membangun peradaban Islam yang agung di abad ini, jalan satu-satunya adalah kembali ke iqra (bacalah!). Gairahkan kembali semangat dan budaya belajar, lahirkan cendikiawan sebanyak-banyaknya, hargai para ilmuwan, terutama ulama dan fuqaha, dan tunggu hasilnya. Insya Allah, Islam kembali jaya!

Sumber: Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar