Komunitas Peduli

Komunitas Peduli

Sabtu, 28 Februari 2009

Hillary Clinton dan Ponari

Tara dan Yanto adalah teman sepermainan waktu kecil. Mereka tinggal bertetangga. Rumah Yanto tepat dibelakang rumah Tara. Tapi semenjak lulus SD mereka tidak bermain bersama lagi. Yanto menghilang menemani Ayahnya yang bekerja sebagai buruh kasar entah kemana. Setelah itu lama sekali mereka tidak bertemu. Dan kini setelah Tara kuliah, Tara bertemu lagi dengan Yanto yang tidak tamat SMA karena tidak punya biaya dan bekerja sebagai tukang kebun di rumahnya.

Walaupun Yanto bekerja sebagai tukang kebunnya, bagi Tara dia tetap Yanto temannya yang dulu. Yang sopan dan lugu. Kini Yanto memanggil Tara dengan sebutan "mbak", meskipun Tara sudah menolak disebut mbak tapi atas dasar sopan santun, Yanto terus menyebutnya dengan "mbak". Yanto seakan menghapus kenangan bahwa mereka dulunya adalah teman beradu tak jongkok.

Tara yang kuliah mengambil ilmu komunikasi senang mengajak Yanto ngobrol di sore hari sambil Yanto menyiram tanaman. Tara senang akan keluguannya. Berbicara dengan Yanto membuat Tara melihat dunia dari sisi yang berbeda. Dunianya Yanto. Seringkali pembicaraan mereka gak nyambung. Seperti ketika Tara menanyakan soal pemerintahannya SBY dan JK di mata Yanto, Yanto menjawab:

“Lebih murah naek bus, mbak. Tarif kereta sekarang mahal.”

“Lho? Maksudnya?”

“Mbak nanya transport dari Surabaya ke Jakarta, kan?”

Walah!

Hari ini di sore yang cerah, ketika Yanto sedang menyapu halaman, Tara iseng-iseng bertanya pada Yanto soal berita paling anyar tentang kedatangan mentri luar negeri Amerika, Hillary Rodham Clinton ke Indonesia. Tara ingin tahu tanggapan Yanto soal itu.

“Menurut kamu kedatangan Hillary Clinton ke Indonesia ada artinya gak?”

“Ha? Sapa tuh?”

“Hillary Clinton! Istrinya mantan presiden Bill Clinton! Yang sekarang jadi mentri luar negeri Amerika. Emang gak baca koran? Gak liat beritanya di tv?”

Yanto mengerutkan jidatnya.

“Saya bacanya Ponari, mbak."

"Ponari?"

"Iya, gimana ya pemerintah ini? Ada pengobatan murah buat rakyat tapi malah dihalangi. Emangnya pemerintah bisa kasih pengobatan murah apa buat rakyatnya? Harusnya pemerintah itu mencontoh Ponari.”

Tara tidak terlalu perduli dengan Ponari. Dia masih penasaran dengan Hillary Clinton. Tara memang sangat menyukai hal-hal berbau politik.

“Jadi kamu gak tau beritanya Hillary Clinton?”

“Nggak tuh. Apa penting beritanya mbak? Penting mana sama Ponari?”

Lah Ponari lagi.

“Sama-sama penting kali. Nyatanya dua-duanya lagi jadi headline dimana-mana.”

“Oooh.., Hillary juga mau kasih pengobatan murah buat rakyat miskin, ya mbak?”

“Nah, itu saya gak tau. Pastinya ada lobi-lobi politiklah untuk kepentingan dua belah pihak. Ya, harusnya sih dua belah pihak ya. Gak tau deh kalo akhirnya ada pihak yang lebih diuntungkan.”

“Kedua belah pihak itu termasuk rakyat kayak saya?”

“Harusnya sih iya.”

“Tapi itu kan cuma dua mbak pihaknya? Rakyatnya dimana?”

“Ya, dibawah pemerintah Indonesialah, tujuannya kan untuk kesejahteraan rakyat juga.”

“Yah.., saya sih berharapnya….,”

Yanto terdiam sejenak dan tampak bingung.

“Loh kok putus? Berharap apa?”

“Berharap apa ya….? Saya juga bingung. Kita ngomongin Ponari ajalah mbak. Hillary ketinggian buat saya…”

“Ketinggian gimana?”

“Saya ngomongin apa yang saya liat dan saya rasain aja. Kalo kayak Hillary itu terlalu jauh buat saya.”

“Emang kalo Ponari itu deket sama kamu?”

“Iyalah mbak. Tadinya saya mau bawa emak saya berobat kesana, eh dah keburu ditutup. Kasian mbak, emak saya udah tinggal tulang sama kulit.”

Tara kasihan melihat raut muka Yanto yang sedih teringat Ibunya yang sedang sakit. Tapi Tara masih penasaran dengan Hillarynya.

“Jadi kamu gak menaruh harapan apa-apa sama Hillary?”

“Nggak tuh mbak. Saya menaruh harapan besar pada Ponari. Kapan ya prakteknya dibuka lagi?”

Sumber: Blognya Upi

1 komentar: